[caption caption="Sumur Awisan, Kec Setu, Kab Bekasi"][/caption]
Bentuknya lubang di tanah. Diameter sekitar 1 meter. Dengan kedalaman variatif antara 2 meter hingga 4/7 meter. Â Dulu, biasanya diambil dengan teknologi bandul. Â System ungkit dengan bamboo sebatang dan ujung yang dikasih pemberat. Ujung satunya pake ember dan tambang. Masa berjalan. Bandul tenggelam digantiin Timba kerek. Pake system katrol. Dikerek. Â Timba kerek hilang, muncul pompa yang system ngebor airnya gak perlu gali sumur. Tapi lebih suka sekali nancep cukup.
Nasib sumur kehilangan pamor. Setelah perumahan menggerayangi Bekasi, sumur  tidak lagi menjadi alternatif.  Digantikan pompa dan mesin air. Orang Bekasi seakan malu bikin sumur model lama. Berbondong-bondong lah membuat sumur tancep. Sumur versi lama pun diurug. Atau ada pula yang menutup tapi tidak diurug. Cukup diaktifkan dengan menaruh mesin pompa air.
Pada titik ini kembali orang Bekasi meninggalkan local geniusnya. Beralih ke pompa air. Padahal sumur selain berfungsi sebagai sumber  mata air, sumur juga berfungsi sebagai  biopori, wadah bagi air hujan untuk dijebak dan menjadi peningkatan atas cadangan air bersih.Â
Kehadiran sumur menjadi jembatan alamiah antara air permukaan dan air bawah tanah.  Sesuatu yang tidak bisa dimainkan oleh sumur tancep. Dengan sedikit modifikasi, konsep sumur ini yang kemudian menjadi biopori. Padahal, orang Bekasi sudah lebih duluan kenal  sumur dibanding biopori. Bedanya biopori ditambahi sampah organic untuk menutup sehingga fauna tanah bisa hidup.  Menciptkan rongga-rongga tanah dan mengubah sampah menjadi pupuk organic.Â
Biopori dibuat untuk mencegah banjir sekaligus sebagai perangkap air untuk cadangan air bersih. Organisma dalam tanah mampu membuat sampah menjadi mineral-mineral yang kemudian menjadi larut dalam air. Hasilnya air tanah menjadi berkualitas karena mengandung mineral.
Sumur  Ambaro dan Awisan
Sumur  bagi masyarakat adat bukan sekadar sumber air. Tapi lebih dari. Makna sumur juga sebagai ‘ penghubung’ dengan dunia hakikah.  Menyadari adanya ‘sesuatu’ yang tak terlihat di bawah permukaan tapi ia bergerak dinamis dan memengaruhi apa yang ada di atas permukaan atas.  Pemahaman mistis ini bisa ditemukan dalam tradisi mandi tujuh sumur di sejumlah masyarakat. Bahkan di Kampung Dua kelurahan Jakasampurna ada Perguruan Silat yang bernama Pendekar Sumur tujuh.Â
Makna sumur berarti juga penyucian jiwa. Membersihkan watak dan karakter lebih bersih, adem dan suci.  Termasuk di dalamnya keberkahan dan karomah. Kemuliaan dan marwah. Keyakinan menyangkut tafsir sumur ini masih banyak yang hidup  di kalangan masyarakat adat. Â
Temuan sumur Awisan  dan Sumur Ambaro di Kecamatan Setu memperkuat akar sejarah dari makna sumur dalam khazanah budaya orang Bekasi. Belum lagi sumur-sumur  yang ada di beberapa benda Cagar Budaya di kabupaten Bekasi belum dilestarikan sebagaimana mestinya. Di Gedung Djuang Tambun, misalnya. Dulu ada dua sumur di belakang bangunan utama : Sumur Kejayaan dan sumur Rahayu. Begitu juga di tangsi Belanda yang di Cibarusah. Ada beberapa sumur  di sana. Yang masih dirawat di polsek Cibarusah.
Di Saung Ranggon, Cikedokan, Kecamatan Cikarang Barat ada juga sumur di depannya. Dan sebuah lubang yang ditutup di bawah panggung Saung Ranggon. Masih banyak misteri yang bisa digali. Bahkan mungkin juga penemuan pengobatan medis bisa ada penelitian serius mengenai kadar dan kualitas air yang berasal dari sumur tradisionil kita. Â Dengan kalimat lain, sesungguhnya sumur merupakan infrastruktur budaya dalam menjaga harmonisasi lingkungan. Menjadi perangkap atas cadangan air bawah tanah.Â