Fenomena perselingkuhan bukan hal baru dalam kehidupan masyarakat. Namun, munculnya kasus perselingkuhan yang disamarkan dengan praktik menikah siri (pernikahan sah secara agama namun tidak tercatat di negara) telah memunculkan kontroversi yang lebih kompleks. Di satu sisi, menikah siri kerap dianggap sebagai solusi 'halal' untuk hubungan terlarang; di sisi lain, praktik ini menimbulkan pertanyaan moral, sosial, bahkan hukum yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Menikah Siri: Definisi dan Dasar Hukum
Nikah siri secara terminologi berasal dari bahasa Arab sirri yang berarti "rahasia." Dalam praktiknya, pernikahan ini dilakukan menurut syariat Islam --- memenuhi rukun dan syarat sah nikah --- tetapi tidak dicatatkan secara resmi ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau lembaga pencatatan sipil.
Menurut hukum agama, nikah siri sah apabila memenuhi syarat: adanya wali, dua saksi, mahar, dan ijab kabul. Namun dalam konteks hukum negara Indonesia, khususnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, setiap pernikahan harus dicatatkan agar memiliki kekuatan hukum. Tanpa pencatatan resmi, hak-hak istri dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut rentan diabaikan secara hukum.
Selingkuh Bermantel Nikah Siri
Dalam banyak kasus, nikah siri digunakan sebagai "pembenaran" atas hubungan yang sejatinya adalah perselingkuhan. Seorang pria (atau dalam beberapa kasus wanita) yang sudah menikah secara resmi, kemudian menikah siri dengan pasangan barunya tanpa sepengetahuan atau persetujuan pasangan pertama.
Motif utamanya seringkali adalah untuk menghindari stigma negatif hubungan gelap, menjaga citra, atau menghindari hukuman sosial dan agama. Padahal, secara moral, tindakan ini tetap dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap pernikahan pertama.
Dimensi Sosial: Luka yang Menganga
Dari perspektif sosial, menikah siri atas dasar hubungan perselingkuhan membawa luka mendalam. Pasangan pertama --- baik suami atau istri --- merasa dikhianati. Keluarga besar pun sering terlibat dalam konflik berkepanjangan. Di masyarakat tradisional, aib seperti ini bisa berdampak luas, termasuk terhadap anak-anak yang harus menanggung beban psikologis akibat kisruh rumah tangga orang tua mereka.
Selain itu, perempuan yang dinikahi secara siri tanpa jaminan hukum berada dalam posisi yang sangat rentan: tidak memiliki hak waris, hak nafkah yang kuat, atau jaminan perlindungan hukum saat terjadi perselisihan.