- Imaduddin Nasution
Executive Director of the Center for Minority Rights-Research and Advocacy
CEMIRRA
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Oxford Dictionary menegaskan bahwa minoritas adalah kelompok masyarakat yang jumlahnya lebih kecil dari kelompok lain di dalam suatu wilayah.[1] Akan tetapi Encyclopedia Britannica mengatakan bahwa minoritas adalah:
“sebuah kelompok yang secara budaya, etnis dan rasial hidup berdampingan namun berada dalam subordinat dari kelompok yang lebih dominan. Sebagaimana istilah dalam ilmu-ilmu sosial, subordinasi adalah ciri utama dalam mendefinisikan kelompok minoritas. Dengan demikian, status minoritas tidak selalu berkorelasi dengan populasi. Dalam beberapa kasus disebutkan bahwa kelompok minoritas mungkin memiliki populasi berkali-kali ukuran dari kelompok dominan, seperti yang terjadi di Afrika Selatan pada era apartheid (1950-1991).”[2]
Definisi Encyclopedia Britannica tersebut tentunya tidak menggugurkan definisi yang diberikan banyak kamus yang dibaca di seluruh dunia. Bahkan Khan dan Rahman mengungkapkan bahwa sebetulnya pendefinisian minoritas masih berada dalam posisi debatable.[3] Dengan demikian, definisi apapun dapat diberikan untuk menambah khazanah perbendaharaan definisi minoritas di dunia akademik sekarang ini.
Sementara itu dalam wawasan hukum internasional yang dianut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebuah kelompok masyarakat dapat dikatakan minoritas bila identitas yang dibawanya menyangkut Etnis, ras, bahasa dan agama.[4] Sementara Caportoti mengungkapkan bahwa minoritas adalah:
“sebuah kelompok yang inferior secara numerik, dari sisa penduduk suatu negara, dalam posisi tidak dominan yang anggotanya menjadi bagian negara tersebut, memiliki karakter Etnis, agama dan bahasa yang berbeda dari sisa penduduk dan menunjukkan sikap mempertahankan rasa solidaritas yang mengarah kepada pelestarian budaya, tradisi, agama atau bahasa mereka”[5]
Dalam penafsiran Khan dan Rahman, definisi Caportoti juga menyangkut exclusion from power dan tidak sebatas pada size of population saja.[6] Termasuk kelompok minoritas yang terekslusi dari kekuasaan adalah orang tanpa kewarganegaraan atau orang tanpa status kependudukan yang sah.[7] Termasuk dalam exclusion from power adalah juga eksklusi dalam dunia kerja, pendidikan dan pelayanan publik. Dengan demikian, pembatasan kelompok minoritas sebatas pada identitas rasial, etnisitas, bahasa dan agama masih perlu untuk dikritisi. Namun demikian, klaim minoritas berdasarkan gender, orientasi seksual, kondisi fisik atau mental (termasuk disabilitas syaraf), status sosial, pekerjaan dan lain-lain masih mengundang perdebatan dan terasa asing sampai saat ini.[8]
Dalam kenyataan, terdapat beberapa kelompok masyarakat yang mengeksklusi diri mereka dari kekuasaan. Kelompok tersebut kemudian dikenal sebagai minority by will. Kelompok minoritas yang secara sadar menjadikan diri mereka minoritas dalam suatu entitas domisili. Sementara kelompok lain, tereksklusi secara paksa. Kelompok ini disebut minority by force.[9] Konsep minority by will dan minority by force ini memperlihatkan bahwa terkadang suatu eksklusi sosial dapat terjadi atas dasar keinginan kelompok yang tereksklusi itu sendiri. Akan tetapi, ekslusi sosial umumnya terjadi dengan paksaan kelompok dominan atau mayoritas. Contoh nyata minority by will adalah Suku Baduy di Banten.
Selain konsep minority by will dan minority by force, terdapat konsep kin-minority dan kin-state. Sebuah kelompok dikatakan sebagai kin-minority (minoritas berkerabat) bila mereka memiliki identitas sebagai mayoritas di negara tetangga mereka (kin-state).[10] Contoh nyata kin-minority adalah Muslim Pathani yang merupakan juga etnis Melayu, sebagaimana Muslim Melayu di Malaysia.
Dengan demikian, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sebuah kelompok masyarakat dapat menjadi minoritas tanpa harus memiliki size of population yang kecil. Sebuah kelompok masyarakat juga dapat menjadi minoritas karena exclusion from power, yang juga termasuk eksklusi dalam pelayanan publik, pekerjaan, pendidikan dan pembangunan.
Ekslusi Sosial
Terdapat beberapa faktor yang menciptakan adanya eksklusi sosial. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah faktor rasial, agama, bahasa, kasta, gender, disabilitas, penyakit tertentu dan status migrasi.[11] Dengan demikian, konsep eksklusi sosial mendukung konsep yang menyebutkan bahwa klaim minoritas dapat diberikan pada kelompok rakyat miskin, orang dengan disabilitas (termasuk penyakit tertentu), orang tanpa status kependudukan (stateless, homeless dan penduduk musiman) dan kelompok-kelompok masyarakat lain yang tereksklusi, tanpa harus melihat jumlah mereka.
Eksklusi sosial umumnya berkaitan dengan persoalan ekonomi dan pembangunan nasional. Pekerja dengan disabilitas, seringkali dianggap mengurangi produktifitas perusahaan yang akan mempekerjakannya. Demikian pula dengan pekerja dengan penyakit tertentu. Persoalan migrasi (imigran gelap dan kaum urban) juga dapat mempengaruhi kebijakan penerimaan pekerja pada sebuah perusahaan. Persoalan gender, orientasi sekskual dan kasta juga terkadang mempengaruhi kebijakan rekrutmen pekerja.
Perampasan hak atas kehidupan yang layak, dapat dijadikan definisi eksklusi sosial. Eksklusi sosial umumnya bersifat relatif permanen dan masif. Ketidaksetaraan yang dilembagakan adalah satu alasan terjadinya eksklusi sosial.[12] Terdapat empat dimensi dalam persoalan eksklusi sosial. Keempatnya adalah pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan pelayanan kesehatan.[13]
Amy Freedman mengatakan bahwa dalam kajian Marxist dan Neo-Marxist, minoritas imigran (terutama di negara maju) dimasukkan ke dalam kelompok kelas pekerja. Mereka umumnya juga tereksklusi dalam dunia pendidikan (dalam hal ini anak-anak mereka mendapatkan diskriminasi), pekerjaan, penghasilan dan pelayanan kesehatan.[14]
Namun demikian, Raudenbush dan Kasim mengungkapkan bahwa eksklusi sosial dapat dihapuskan ketika seorang anak dari keluarga yang tereksklusi mendapatkan pendidikan yang setara dengan masyarakat yang tidak tereksklusi.[15] Hanya saja, sebuah eksklusi sosial memang merupakan persoalan yang tidak mudah untuk dihilangkan. Diskriminasi dan pengucilan terhadap kelompok masyarakat yang dianggap memiliki kekurangan, dapat dipastikan merupakan beban bagi kelompok masyarakat itu sendiri, dan juga bagi entitas domisili dimana mereka tinggal.
Orang dengan Disabilitas
Di Indonesia, orang dengan disabilitas sering disebut sebagai orang cacat.[16] Sebetulnya perspektif kecacatan ini terdapat di berbagai belahan dunia. Setia Adi Purwanta menyebutkan bahwa penggunaan sebutan cacat menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap orang dengan disabilitas. Implikasinya, orang dengan disabilitas sering memperoleh diskriminasi atau perlindungan berlebihan, yang justru menghilangkan hak-hak asasi mereka sebagai manusia.[17]
Dalam Pasal Tiga Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang dibuat pada 2006, disebutkan bahwa orang dengan disabilitas, memiliki hak untuk dihormati sebagai manusia yang mandiri dengan segala pilihan hidupnya. Orang dengan disabilitas juga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam masyarakat, mendapatkan perlakuan setara dengan manusia lainnya, serta mendapatkan kesempatan kerja dan belajar yang setara dengan manusia lainnya. Laki-laki, perempuan dan anak-anak yang memiliki disabilitas memiliki hak yang sama untuk dapat menunjukkan pilihan hidup dan identitasnya sebagai manusia biasa.[18] Di banyak negara maju, terdapat peraturan yang mewajibkan setiap badan usaha untuk mempekerjakan pegawai dengan disabilitas. Jerman mengeluarkan kuota 6% pegawai dari setiap 16 orang pegawai, untuk mengakomodir orang dengan disabilitas di tempat kerja mereka.[19]
Dalam publikasinya, Unicef mengungkapkan bahwa setiap anak dengan disabilitas, umumnya mengalami kesulitan dalam memperoleh pendidikan yang layak, yang karena itu menjadikan mereka sulit untuk memasuki dunia kerja dan pada akhirnya menjadikan mereka memiliki kecenderungan untuk menjadi lebih miskin dibanding orang lain. Namun pengamatan Unicef ini lebih banyak terbukti di negara-negara berkembang.[20]
Fakta-fakta mengenai diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas, tentunya membawa kita pada sebuah empati, dimana menjadi kewajiban kita untuk dapat merasakan dan memahami apa yang mereka rasakan. Sebagai warga negara Indonesia dan sebagai warga dunia, tentunya kita berkewajiban untuk dapat mewujudkan inklusi sosial, dimana kelompok penyandang disabilitas dapat hidup bersama masyarakat lainnya dengan normal.
Orang dengan Masalah Migrasi
Masalah migrasi, dapat dibagi ke dalam tiga masalah utama. Ketiganya adalah imigrasi dari negara berkembang ke negara maju, urbanisasi di kota-kota besar dunia dan anak jalanan di kota-kota besar dunia. Persoalan migrasi ini, menjadikan kaum imigran dan urban yang tidak memiliki izin tinggal dan pekerjaan tetap, serta anak jalanan sebagai beban bagi pemerintah setempat.
- Imigran
Gelombang migrasi buruh di seluruh dunia, meningkat sejak akhir Perang Dunia Kedua. Hal ini antara lain disebabkan oleh perkembangan industri pasca perang dunia, yang meningkat di Eropa, Amerika Utara dan Australia serta Selandia Baru. Sejak 1960, angka imigrasi di Eropa telah melampaui angka emigrasi. Tercatat dalam periode 1960-1990-an, Eropa telah memiliki populasi imigran yang cukup besar.[21] Imigrasi buruh dari negara-negara berkembang ke negara-negara maju menimbulkan pertanyaan mengenai kebijakan imigrasi dan kebijakan minoritas, yang diperdebatkan sampai saat ini.[22]
Secara umum, buruh migran dan imigran adalah dua persoalan berbeda. Namun demikian, fakta mengatakan bahwa imigran yang menginginkan kewarganegaraan negara tujuan, juga menginginkan pekerjaan di negara tujuannya itu. Dengan demikian, persoalan imigran, baik imigran legal maupun gelap, dapat mempengaruhi persoalan ekonomi sebuah negara.
Populasi imigran yang meningkat di berbagai negara maju, tentunya mempengaruhi ketersediaan lapangan kerja di negara-negara maju tersebut. Uni Eropa mencatat bahwa Eropa telah banyak menerima imigran yang bekerja, yang kemudian menimbulkan masalah sosial, seperti diskriminasi dan eksklusi sosial.[23] Bahkan banyak pencari kerja yang nekat mencari kerja di sebuah negara asing secara ilegal.
Persoalan imigran ini, kemudian menjadi persoalan ekonomi, karena terkait dengan ketersediaan lapangan kerja di negara tujuan imigrasi. Selain itu, populasi imigran kerap dianggap sebagai ancaman bagi tradisi, budaya dan kebiasaan serta agama yang dianut oleh mayoritas penduduk asli di suatu negara. Anggapan tersebut, tentunya menimbulkan masalah terkait dengan integrasi, asimilasi, akulturasi dan desegregasi di negara tertentu.
- Kaum Urban
Sekitar separuh penduduk dunia tinggal di kawasan urban (perkotaan). Prospek urbanisasi menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meningkat drastis dalam beberapa dekade belakangan ini, dan akan terus meningkat hingga beberapa dekade lagi.[24] Ini berarti, bahwa kelak mayoritas penduduk dunia akan tinggal di kawasan perkotaan. Tercatat akan terwujud empat puluh satu kota besar berpenduduk diatas sepuluh juta jiwa di dunia ini.[25]
Catatan International Federation of Surveyors (FIG) mengungkapkan bahwa urbanisasi telah meningkat sejak awal abad keduapuluh. Bahkan terdapat kemungkinan bahwa dalam tahun 2030, lebih dari separuh (60%) penduduk dunia akan tinggal di perkotaan. Pembangunan dan kesempatan kerja adalah alasan utama bagi terwujudnya urbanisasi ini.[26] Peningkatan populasi urban ini, sedikit banyak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di kota-kota besar (mega cities) di seluruh dunia. Selain itu, persoalan lapangan kerja juga menjadi isu menarik terkait dengan konsekuensi logis urbanisasi.
Masyarakat urban inilah yang kemudian juga memiliki masalah dengan kelompok penduduk asli di sebuah kota besar. Selain itu, pendatang baru di sebuah kota besar, terkadang harus berhadapan dengan pendatang lama yang sudah hidup lebih mapan dan bahkan memiliki kedekatan dengan penduduk asli. Kepala Seksi Rehabilitasi Anak, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tangerang Selatan menungkapkan bahwa di Kota Tangerang Selatan memang terdapat pemukim liar, yang tidak memiliki hak atas pelayanan publik di kota tersebut.[27] Fakta yang terdapat di Kota Tangerang Selatan tersebut, tentunya juga dapat dilihat di berbagai kota besar di seluruh dunia.
- Anak Jalanan
Anak jalanan adalah kelompok anak-anak yang dapat dipastikan ada di setiap kota di dunia. Persoalan anak jalanan ini tentunya mengundang perhatian tersendiri dari kalangan akademisi, politisi dan pemerintah negara-negara. Mereka yang hidup di jalanan di masa kanak-kanak mereka, tentunya mengalami kehidupan yang penuh dengan kekerasan dan bahaya.
Menurut organisasi dana anak-anak PBB (Unicef), terdapat jutaan anak yang hidup di jalanan, tereksklusi dari hak mereka atas pendidikan, pelayanan kesehatan dan perlindungan keluarga.[28] Menurut Quiterie Pincent dan kawan-kawan, fenomena anak jalanan memiliki banyak faktor penyebab. Pincent dan kawan-kawan menyebutkan antara lain adalah faktor urbanisasi, kemiskinan, masalah keluarga dan tidak adanya keamanan sosial.[29]
Anak jalanan sebagai kelompok tereksklusi tentu juga memiliki kerentanan terhadap narkotika, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA) serta pergaulan bebas yang berujung pada seks bebas. Kehamilan di luar nikah bagi anak jalanan perempuan dan pelecehan seksual bagi anak jalanan secara umum adalah pemandangan yang dapat kita jumpai di seluruh kota besar di dunia. Rikawarastuti mengungkapkan bahwa anak jalanan cenderung memiliki masalah dengan orang dewasa dan memiliki kerentanan terhadap NAPZA dan pelecehan seksual. Bahkan persoalan kesehatan mereka (termasuk kesehatan reproduksi) juga cenderung tidak diperhatikan.[30] Dengan demikian, tentunya anak jalanan merupakan satu kelompok masyarakat tereksklusi yang perlu untuk mendapatkan perhatian khusus dari kita semua.
Kasta dan Kelas Sosial
Kasta dan kelas sosial sebetulnya merupakan satu hal yang sama. Bedanya kasta merupakan sistem stratifikasi sosial yang bersifat rigid. Kasta seseorang tidak dapat berubah sama sekali. Sementara itu, kelas sosial merupakan sistem stratifikasi sosial yang bersifat terbuka. Termasuk dalam kelas sosial adalah stratifikasi akademik dan kedudukan di tempat kerja. Masyarakat dengan kasta dan kelas (status) sosial yang rendah, seringkali mendapatkan diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kasta dalam hal ini merupakan sistem yang rigid, yang membuat manusia tidak mungkin mengalami peningkatan status sosial. India (dalam hal ini masyarakat Hindu) merupakan masyarakat berkasta yang paling terkenal di dunia.Oliver Cox mencatat kasta sebagai temuan Vasco da Gama yang mendarat di Calicut, India pada 1498. Kasta menurutnya berbeda dengan strata sosial. Dalam masyarakat yang terbuka, strata sosial seseorang dapat berubah seiring dengan perubahan tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi. Namun demikian, kasta seseorang tidak akan pernah berubah seumur hidup mereka.[31]
Persoalan dalam sistem stratifikasi sosial (baik kasta maupun status/kelas sosial) adalah terdapatnya inequality diantara kelas sosial yang satu dengan yang lain. Kasta dalam hal ini lebih memperlihatkan adanya diskriminasi dalam sistem mereka. Inequality dan diskriminasi berdasarkan kasta dan kelas (strata/status) sosial ini cenderung bersifat kekal. Bahkan ketika kesetaraan dalam kesempatan belajar (sekolah) dan bekerja dapat diperoleh, masyarakat kelas atau kasta bawah, tetap memiliki kecenderungan untuk tidak bergerak ke atas. Kasta adalah sistem yang bahkan tidak memungkinkan terjadinya perubahan kelas sosial.[32] Hal ini tentunya menjadi masalah sosial tersendiri yang harus diperhatikan oleh setiap warga dunia.
Gender dan Orientasi Seksual
Persoalan gender dan orientasi seksual menunjukkan adanya kesenjangan diantara laki-laki dan perempuan, serta antara masyarakat normal dan kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Perempuan dan LGBT adalah dua kelompok masyarakat yang seringkali tereksklusi oleh karena adanya ketidaksetaraan gender. Hal ini dapat dibahas dalam dua anak judul di bawah ini.
- Perempuan
Berbagai kasus diskriminasi dan pelecehan seksual terhadap perempuan cukup untuk memasukan perempuan ke dalam kelompok tereksklusi. Perempuan umumnya sulit untuk memperoleh keadilan setelah mereka mengalami peristiwa kekerasan seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual. Bahkan ketika jaksa dan hakim yang bertugas adalah perempuan, korban yang juga perempuan seringkali gagal mendapatkan keadilan subtantif. Umumnya, korban hanya mendapatkan apa yang disebut sebagai keadilan prosedural.[33]
Di Indonesia, terdapat dua peristiwa besar yang membawa perempuan sebagai korban kekerasan dan pelanggaran HAM berat. Keduanya adalah peristiwa G30S PKI dan kerusuhan Mei 1998. Di samping itu, masih banyak terjadi kerusuhan dan konflik lokal yang menimbulkan luka fisik dan mental pada diri perempuan Indonesia.
Dalam konflik pasca G30S PKI, terjadi isu-isu menyesatkan tentang Gerwani (Gerakan Wanita Tani) yang diidentikan dengan PKI. Gerwani dan mereka yang dicap Gerwani, dikatakan melakukan pelecehan seksual terhadap para jenderal yang diculik oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan PKI. Ini kemudian menjadi pembenaran bagi banyak pihak bagi melakukan tindakan ‘balas dendam’ terhadap anggota Gerwani. Mereka yang dicap sebagai bagian dari Gerwani kemudian mengalami berbagai pelecehan seksual bahkan pemerkosaan dan diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari mereka.[34]
Setelah konflik 1965-1966, peristiwa besar lainnya terkait permasalahan perempuan adalah kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998. Dalam kerusuhan Mei 1998, perempuan dari etnis Tionghoa banyak menjadi korban kekerasan seksual. Pemerkosaan dalam hal ini menjadi pokok persoalan yang tidak pernah berhenti dibicarakan.[35] Fakta yang ditemukan oleh Saparinah Sadli menyebutkan bahwa perempuan korban pemerkosaan cenderung bungkam untuk melupakan peristiwa yang dialaminya. Di samping itu, mereka cenderung menyalahkan diri sendiri dan kehilangan rasa percaya diri. Rasa malu untuk menceritakan apa yang dialaminya menyebabkan perempuan korban pemerkosaan menyimpan masalahnya sendiri dan mencoba melupakan persoalan yang dihadapinya. Selain itu, mereka juga memiliki ketakutan untuk hamil dan cenderung mengalami trauma seumur hidupnya.[36]
Dalam tradisi ketimuran, perempuan korban pemerkosaan, baik dalam kerusuhan Mei 1998 maupun peristiwa lainnya, memang cenderung malu dan merasa berdosa bila menceritakan pengalaman mereka. Selain itu, dalam kasus Mei 1998, negara terlihat menutup mata terhadap kasus yang dianggap kontroversial ini. Fakta mengenai kekerasan seksual Mei 1998 kemudian dianggap tidak pernah ada oleh negara dan masyarakat umum.[37] Selain itu, trauma yang dialami korban kekerasan seksual Mei 1998 tentu menyebabkan kesulitan bagi diungkapnya kasus ini ke hadapan hukum.[38]
Selain kedua kasus diatas, Komnas Perempuan juga menemukan bahwa otonomi daerah ternyata memberikan ruang bagi diskriminasi gender di Indonesia. Berbagai peraturan daerah (Perda) yang mengatur busana perempuan dan prostitusi, ternyata memiliki kecenderungan mengkriminalkan perempuan. Peraturan yang diskriminatif ini mulai terlihat sejak tahun 2003. Menurut Andy Yentriyani dan kawan-kawan, kebijakan yang mengatur busana perempuan dianggap oleh penggagas peraturan sebagai prestasi gemilang dalam meningkatkan religiusitas daerah. Namun demikian, penggagas tidak menyadari bahwa peraturan-peraturan tersebut merupakan pelembagaan diskriminasi.[39]
Ketiga kasus diatas tentunya cukup untuk menggambarkan eksklusi dan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Dalam konteks global, eksklusi dan diskriminasi terhadap perempuan ini juga banyak disorot oleh lembaga-lembaga internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki perhatian khusus terhadap kesetaraan gender, yang dalam proyeksinya dikatakan dapat membantu keberlangsungan pembangunan dunia. Termasuk dalam hal ini adalah pembangunan di bidang lingkungan, ekonomi dan demokratisasi.[40]
- LGBT
Lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) adalah sekelompok manusia yang memiliki kelainan dalam orientasi seksual mereka. Kecenderungan menyukai sesama jenis, mampu menyukai jenisnya sendiri dan berhubungan seks dengan lawan jenis, serta memiliki kecenderungan untuk mengubah jenis kelamin, adalah fenomena yang menjelaskan siapa mereka.
Dalam dunia yang menganut binaritas seksual, LGBT dan terkadang menjadi LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Interseks) atau LGBTIQ (dengan tambahan queer), dianggap sebagai sesuatu yang abnormal. Padahal, perubahan gender bahkan dapat terjadi secara alami. Budi Wahyuni dan kawan-kawan mencatat adanya penyakit bernama sindrom klinefelter, penyakit yang membuat seseorang memiliki kromosom laki-laki dan perempuan sekaligus. Secara singkat, sindrom tersebut menjadikan seorang perempuan dapat berubah menjadi laki-laki setelah memasuki usia aqil baligh.[41]
Council of Europe mencatat bahwa kelompok LGBT mengalami diskriminasi karena orientasi seksual dan identitas gender mereka yang berbeda.[42] Dalam dunia kerja dan pelayanan publik, kelompok LGBT sering dianggap sebagai kelompok masyarakat yang melawan Tuhan. Wahyuni dan kawan-kawan mencatat bahwa orientasi seksual yang berbeda selalu dianggap sebagai abnormalitas dan bahkan pelanggaran terhadap norma yang berlaku.[43]
Menurut James W. Coleman dan Harold R. Kerbo, homoseksualitas seringkali dianggap sebagai sebuah kriminalitas. Coleman dan Kerbo mengungkapkan bahwa diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kelompok LGBT ini merupakan pengaruh dari kebudayaan Judeo-Kristen yang memang melarang adanya homoseksualitas. Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, kelompok LGBT mulai mendapatkan legalitas dari pemerintah. Hanya saja, legalitas tersebut seringkali tidak dibarengi oleh penerimaan publik.[44]
Ras, Etnis, Bahasa dan Agama
Minoritas rasial, etnis, bahasa dan agama adalah tipe minoritas yang paling sering dibahas dalam kajian minoritas. Keanekaragaman etnis, bahasa dan agama di dunia tentu menciptakan golongan minoritas dan mayoritas dalam tiap entitas domisili manusia. Oleh karena itu, isu-isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) selalu hangat dibicarakan dalam perdebatan publik.
Di Indonesia, kata ‘minoritas’ lebih banyak diidentikan dengan penganut agama tertentu yang jumlahnya lebih sedikit dari jumlah penganut agama lain yang mendominasi suatu kawasan. Dalam konteks nasional, Indonesia memiliki masyarakat Muslim terbesar di dunia. Dengan demikian, semua agama selain Islam dapat dimasukan ke dalam kelompok minoritas.
Penyerangan terhadap kelompok minoritas agama di Indonesia merupakan kasus besar yang tidak mudah untuk diselesaikan. Human Rights Watch menunjukan bahwa persoalan minoritas agama di Indonesia lebih banyak didukung oleh peraturan-peraturan yang justru dikeluarkan oleh pemerintah, baik di tingkat lokal maupun nasional.[45] Sementara itu, minoritas etnis dan bahasa seperti minoritas Gayo di Aceh, menerima diskriminasi dalam bentuk yang berbeda. Memang tidak ditemukan kasus penyerangan terhadap minoritas Gayo di Aceh, akan tetapi eksklusi terhadap mereka dilakukan oleh kebanyakan warga Aceh dan bahkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.[46]
Kasus Indonesia diatas tentunya juga dapat terjadi di berbagai belahan dunia. Islamophobia dan integrasi secara paksa yang dilakukan oleh pemerintah beberapa negara di Eropa, merupakan contoh lain dari persoalan minoritas ras, etnis, bahasa dan agama.
Penutup
Dapat disimpulkan bahwa minoritas tidak harus lebih sedikit dari jumlah penduduk lain yang dominan. Encyclopedia Britannica menunjukan bahwa minoritas dapat berarti kelompok masyarakat yang tereksklusi dari kekuasaan, terlepas dari jumlah populasi mereka. Ini sekaligus merubah pandangan umum masyarakat mengenai keberadaan kelompok minoritas di dunia dan Indonesia khususnya.
Dengan demikian, semua korban diskriminasi dan eksklusi sosial dapat dikategorikan sebagai kelompok minoritas. Hal ini mengacu pada fakta bahwa kelompok-kelompok seperti orang dengan disabilitas, orang dengan masalah migrasi dan kaum miskin tidak dapat mengakses pelayanan publik yang prima di dalam entitas domisili mereka. Diskriminasi dan eksklusi sosial cenderung mereka alami karena status sosial dan ekonomi mereka, yang lemah.
Persoalan minoritas dari berbagai pendekatan, cenderung mengenai permasalahan diskriminasi, eksklusi sosial, pluralisme, multikulturalisme dan interkulturalisme. Integrasi sosial, politik dan ekonomi merupakan bagian tak terpisahkan dari persoalan ini. Bagaimanapun, persoalan minoritas yang paling jarang dilihat adalah justru persoalan minoritas diluar minoritas ras, etnis, bahasa dan agama. Persoalan minoritas ras, etnis, bahasa dan agama terbukti terlalu banyak mendominasi isu-isu minoritas di berbagai wilayah di dunia. Dengan demikian, sebuah diskursus kajian minoritas menjadi sangat dibutuhkan untuk mengubah sudut pandang dan pendekatan akademis yang dipergunakan dalam mengkaji dan menyelesaikan masalah-masalah minoritas ini.
[1] Lihat http://kbbi.web.id/minoritas dan http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/minority, halaman diakses pada 9 Agustus 2014, pukul 18:51 WIB
[2] Lihat http://www.britannica.com/EBchecked/topic/384500/minority. halaman diakses pada 2 Oktober 2014, pukul 17:41 WIB.
[3] Borhan Uddin Khan dan Muhammad Mahbubur Rahman, Protection of Minorities; A South Asian Discourse, (Dhaka: Eurasia Net, 2009), h. 1.
[4] Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, Minority Rights; International Standards and Guidance for Implementation, (New York-Jenewa: OHCHR, 2010), h. 2.
[5] Francesco Caportoti, Study on the Rights of Persons Belonging to Ethnic, Religious and Linguistic Minorities, (New York: United Nations, 1991), h. 98, sebagaimana dikutip dalam Khan dan Rahman, Protection of Minorities, h. 1-2.
[6] Khan dan Rahman, Protection of Minorities, h. 2-5.
[7] Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, Minority Rights, h. 4-6.
[8] Khan dan Rahman, Protection of Minorities, h. 8-10.
[9] Khan dan Rahman, Protection of Minorities, h. 10-11. Terdapat di dalamnya kutipan dari J.A. Laponce, The Protection of Minorities, (Berkeley: University of California Press, 1960), h. 12-13.
[10] Khan dan Rahman, Protection of Minorities, h. 13.
[11] Department for International Development, Reducing Poverty by Tackling Social Exclusion; A DFID Policy Paper, (London: DFID, 2005), h. 3.
[12] Teo Matković, Investigating Social Exclusion, dalam Nenad Starc et.al, ed, Poverty, Unemployment and Social Exclusion, terj: Snježana Kordić, (Zagreb: UNDP in Croatia, 2006), h. 26.
[13] Zoran Šućur, The Concept of Social Exclusion, dalam Starc et.al, ed, Poverty, terj: Snježana Kordić, h. 11.
[14] Amy L. Freedman, Political Participation and Ethnic Minorities; Chinese Overseas in Malaysia, Indonesia and the United States, (New York: Routledge, 2000), h. 28-30.
[15] Stephen W. Raudenbush dan Rafa M. Kasim, Cognitive Skill and Economic Inequality; Findings from the National Adult Literacy Survey, dalam Gregg Lee Carter, ed, Empirical Approaches to Sociology; A Collection of Classic and Contemporary Readings, Edisi Ketiga, (Boston: Allyn and Bacon, 2001), h. 299-300.
[16] Setia Adi Purwanta, Penyandang Disabilitas, dalam Eko Riyadi dan Syarif Nurhidayat, Vulnerable Groups; Kajian dan Mekanisme Perlindungannya, (Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2012), h. 257.
[17] Purwanta, Penyandang, dalam Riyadi dan Nurhidayat, Vulnerable Groups, h. 258.
[18] Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Naskah Bahasa Inggris, artikel diunduh dari www.un.org pada 11 Maret 2015.
[19] Michael Lechner dan Rosalia Vasquez-Alvares, The Effect of Disability on Labour Market Outcomes in Germany; Evidence from Matching, Forschungsinstitut zur Zukunft der Arbeit, Discussion Paper No. 967, December 2003.
[20] United Nations Children Emergency Fund, Anak Penyandang Disabilitas; Rangkuman Eksekutif, Terj: Agus Riyanto, (New York: Unicef, 2013), h. 4.
[21] European Union Agency for Fundamental Rights, Migrants, Minorities and Employment; Exclusion and Discrimination in 27 Member States of the European Union, (Wina: FRA, 2011), h. 11.
[22] Alfonso Maria Eugenio Fermin, Nederlandse Politieke Partijen over Minderhedenbeleid 1977-1995, Disertasi Doktor Universitas Utrecht, 1997, h. 18.
[23] Lihat European Union Agency for Fundamental Rights, Migrants, Minorities and Employment, h. 26-44.
[24] Department of Economic and Social Affairs, World Urbanization Prospects; The 2014 Revision, (New York: Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2014), h. 2.
[25] Department of Economic and Social Affairs, World Urbanization Prospects, h. 13-15.
[26] Chryssy Potsiou, ed, Rapid Urbanisation and Mega Cities; The Need for Spatial Information Management, (Copenhagen: FIG, 2010), h. 15.
[27] Wawancara pribadi dengan Teddi Darmadi, 7 November 2014.
[28] Patricia Moccia, et.al, ed, The State of the World’s Children 2006; Excluded and Invisible, (New York: Unicef, 2005), h. 1.
[29] Quiterie Pincent, et.al, Street Children; From Individual Care to the Introduction of Social Policies, (Paris: AFD dan Samusocial, 2012), h. 16.
[30] Rikawarastuti, Tinjauan Pendekatan Penanganan Perilaku Seksual Anak Jalanan, dalam Health Quality, Vol. 4 No. 1, h. 55-57.
[31] Oliver C. Cox, Class and Caste; A Definition and a Distinction, dalam The Journal of Negro Education, Vol. 13, No. 2, Spring 1944, h. 139.
[32] Autar S. Dhesi, Caste, Class Synergies and Discrimination in India, dalam International Journal of Social Economics, 25, 6/7/8, h. 1030-1031.
[33] Sulistyowati Irianto, Perempuan, dalam Riyadi dan Nurhidayat, Vulnerable Groups, h. 189-191.
[34] Ita F. Nadia, et.al, Laporan Pemantauan HAM Perempuan, Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Gender; Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2007), h. 8-14.
[35] Saparinah Sadli dan Andy Yentriyani, Laporan Hasil Dokumentasi Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya, Saatnya Meneguhkan Rasa Aman; Langkah Maju Pemenuhan Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan Mei 1998, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2008), h. 9.
[36] Sadli dan Yentriyani, Laporan Hasil Dokumentasi, h. 11.
[37] Sadli dan Yentriyani, Laporan Hasil Dokumentasi, h. 12-14.
[38] Sadli dan Yentriyani, Laporan Hasil Dokumentasi, h. 14-19.
[39] Andy Yentriyani, et.al, Laporan Pemantauan Kondisi Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Provinsi, Atas Nama Otonomi Daerah; Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2010), h. 21-34.
[40] UN Women, World Survey on the Role of Women in Development 2014; Gender Equality and Sustainable Development, (New York: United Nations, 2014), h. 12-14.
[41] Budi Wahyuni, et.al, Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) dan Orang dengan HIV AIDS (ODHA), dalam Riyadi dan Nurhidayat, Vulnerable Groups, h. 505-510.
[42] Council of Europe, Discrimination on Grounds of Sexual Orientation and Gender Idenitity in Europe, 2nd Edition, (Strasbroug: Council of Europe Publishing, 2011), h. 21.
[43] Wahyuni, et.al, LGBT dan ODHA, dalam Riyadi dan Nurhidayat, Vulnerable Groups, h. 508.
[44] James W. Coleman dan Harold R. Kerbo, Social Problems; A Brief Introduction, edisi kedua, (Upper Saddle River: Prentice Hall, 2003), h. 270-271.
[45] Lihat Human Rights Watch, In Religion’s Name; Abuses against Religious Minorities in Indonesia, (Washington DC: HRW, 2013).
[46] Mohammad Hasan Ansori, From Insurgency to Bureaucracy; Free Aceh Movement, Aceh Party and the New Face of Conflict, dalam Stability, Vol. 1, No. 1, Oktober/November 2012, h. 38-39.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI