Sebelum memulai sekolah, ia seperti siswa lainnya juga terkena kewajiban membayar uang sumbangan pengembangan institusi (SPI) atau lazim disebut uang gedung. Besarnya mencapai Rp 3,7 juta, bukan duit yang sedikit bagi orang tua Widi.
"Kami mengajukan permohonan keringanan, akhirnya hanya terkena Rp 2,5 juta," ungkap Waluyo.
Di bangku SMA inilah Widi mulai menemui kesulitan, bahasa Inggris yang menjadi momok sejak SMP, semakin berat. Pasalnya, untuk kelas X (kelas 1 SMA), terdapat ujian listening mau pun speaking, padahal, Widi tak mampu mengucapkan huruf M secara secara baik.
"Saya sempat meminta dispensasi agar dibebaskan dari pelajaran praktek bahasa Inggris, namun, tidak dikabulkan," tutur Widi.
Karena tak terealisasi, maka makin lengkap perjuangan Widi. Tertatih-tatih ia berupaya keras mengikuti aturan yang ada.
Tentunya hal ini membuat ayahnya Sukamto mau pun ibunya Siti Rumzah merasa perihatin, mereka pun membelikan ADB. Sayang, perangkat elektronik itu tidak banyak membantu.
"Akhirnya, ya, tak saya pakai," tuturnya.
Kendati mata pelajaran bahasa Inggris, khususnya pada listening mau pun speaking Widi jelas terbata- bata, akhinya di tahun 2010 ia berhasil lulus dengan nilai yang lumayan.
Bahkan, di bahasa Inggris dirinya mendapatkan nilai 7,6. Melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Widi meneruskan pendidikannya di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Kota Salatiga.
"Saya memilih fakultas Tarbiyah karena ingin mengabdikan diri sebagai seorang pendidik," ungkapnya.
Menulis Buku