Kendati sudah sejak lama mengetahui keberadaan Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono (PBPG) yang terletak di Desa Jetak, Getasan, Kabupaten Semarang, namun, saya belum pernah berkunjung ke lokasi. Selama dua hari berturut- turut, karena mengantar seorang sahabat, kesempatan bertandang tersebut tiba juga. Berikut adalah catatannya.
Selama dua hari, Senin (22/8) dan Selasa (23/8), seorang sahabat asal Jakarta meminta tolong untuk mengantarkan ke PBPG yang letaknya hanya berjarak sekitar 10 Km dari Kota Salatiga. Meski saya bukan pemeluk agama Katolik, namun, sepertinya tidak ada alasan untuk menolaknya. Perbedaan beragama tak bisa dijadikan dalih untuk menghindar. Jadilah kami berdua berkunjung ke lokasi yang sarat keheningan itu.
Sayang, waktu sudah menunjuk angka 17.00, seorang penjaga PBPG yang bernama Tukiman mengatakan bahwa pelayanan terhadap pengunjung telah ditutup. Kami disarankan datang lagi Hari Selasa , sebelum pukul 14.00. Sesudah menyempatkan diri mengambil gambar untuk dokumentasi, akhirnya kami berpamitan. Sekilas, kami perhatikan, lokasi ini terasa sangat hening. Nyaris tidak ada suara apa pun, bahkan, daun kering jatuh pun bakal terdengar.
Enggan membuang kesempatan yang ada, mumpung masih berada di areal PBPG, saya berupaya menelisik segala aktivitas para rubiah. Hasilnya, nol besar. Tak ada yang mau memberikan keterangan. Setiap mau melangkah, penjaga selalu mengatakan tidak boleh ini, tidak boleh itu. Untungnya, ada seorang umat Katolik yang bersedia berbagi. Namanya Ibu Anastasiana Ida Christanti, warga Kota Salatiga.
Menurut Ibu Anastasiana yang pernah menginap di PBPG beberapa tahun lalu, para suster selain bekerja memproduksi beragam makanan dan minuman untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Mereka juga ketat beribadat. Dalam sehari, ibadat yang yang dilakukan sebanyak 7 kali, meliputi 6 kali ibadat serta satu kali misa. “Ibadat malam dilakukan pukul 03.15, saat udara di sekitar PBPG terasa dingin sekali,” jelasnya sembari menambahkan usai ibadat dilanjutkan doa selama sekitar 30 menit yang semuanya dilakukan di kapel.
Pukul 06.00, kembali diadakan misa yang selanjutnya diteruskan ibadat pagi. Tentunya, jeda antara ibadat malam dengan misa hanya selisih sedikit, maka para suster maupun peserta retret tak mungkin meneruskan tidurnya. Agar tidak jenuh, biasanya pengunjung menunggu waktu sembari berjalan- jalan di areal PBPG. Yang paling sulit dilupakan, udara paginya di sini benar-benar terasa di kulit. Pasalnya, suhu bisa mencapai 17 derajat, bahkan terkadang 16 derajat.
PBPG sendiri, sekarang dipimpin oleh Suster Martha yang mempunyai nama lengkap Abdis Martha Elisabeth Driscoll, OCSO. Memimpin sekitar 40 orang suster, Suster Martha juga memperkerjakan 80-an orang warga sekitar untuk bekerja menggarap kebun, penjaga dan pekerjaan lainnya. Toleransi yang tinggi terhadap kehidupan umat beragama juga diperagakan di sini, para pekerja ternyata hanya satu dua yang memeluk agama Katolik. Sisanya, sebagian besar beragama Islam serta Kristen.
“Apa pun agamanya, berobat di sini ya tetap dilayani. Soalnya waktu akan berobat dokter tidak pernah menanyakan agama pasiennya,” ujar Tukiman yang mengaku bekerja di PBPG sejak 10 tahun yang lalu.
Berdasarkan keterangan, PBPG dibangun tahun 1987 sebagai cabang dari Pertapaan Santa Maria Rawaseneng (PSMR) yang ada di Kabupaten Temanggung. Di mana, proses pembangunannya melibatkan RD. YB. Mangunwijaya atau biasa disapa Romo Mangun. Beliau yang memang seorang arsitek, mendesain seluruh bangunan di PBPG sehingga terkandung cita rasa arsitektur yang tinggi. Tahun 1993, PBPG sempat menerima penghargaan Ikatan Arsitek Indonesia.
Bentuk bangunan yang ada, mayoritas perpaduan arsitektur Jawa dengan Eropa. Di mana, daun pintu dan jendelanya mirip rumah-rumah para bule, tetapi atapnya cenderung bergaya joglo. Sedangkan dindingnya, dibalut ornamen bebatuan. Warna yang mendominasi adalah cokelat natural. Di halaman, semuanya ditanami rumput yang terawat. Meski sinar matahari menyengat, namun terasa adem karena banyaknya pepohonan peneduh.
Begitulah sedikit catatan tentang PBPG yang sarat keheningan dan terkesan sakral, minimnya informasi mengakibatkan kesulitan menjelaskan secara rinci. Kendati begitu, ada pelajaran yang bisa dipetik, yakni perbedaan agama tidak harus dijadikan sekat berinteraksi antar umat. Kendati begitu, semisal anda adalah penganut agama Katolik, tidak ada salahnya merasakan sekaligus menikmati rutinitas para suster yang benar- benar sangat mendekati-Nya. Salam keberagaman. (*)