Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hanacaraka, Mantra Politik Presiden Joko Widodo

22 Januari 2015   15:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:36 5634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14218905921442304028

[caption id="attachment_365608" align="aligncenter" width="700" caption="Hartono: Semua tergantung pada Joko Widodo"][/caption]

Hartono (63), mantan Kades Nglanggeran,Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul membuat kesimpulan sederhaha tetapi mengejutkan.Drama tragis yang menimpa dua tokoh fiktif dalam mitos terciptanyahuruf Jawa, dipandang mempunyai keterkaitan riil  dengan pernyataanpolitis Presiden Joko Widodo terutama mengenai revolusi mental.

"Huruf Latin berjumlah 26, berbeda dengan huruf Jawa hanya 20,"demikian Hartono mulai membongkar rahasia di balik cerita samarDora dan Sembodo, duaabdi dalem Raja Medang Kamulan, Ajisaka.


Secara filosofis huruf Jawa:
HANACARAKA, DATASAWALA, PADAJAYANYA, MAGABATHANGA, menurut Hartono  merupakan cerminankatarsis (pensucian diri), yang belakangan menjadi jargon  PresidenJoko Widodo dalam formulasi politik revolusi mental.


Dapuluh huruf Jawa  mengandung
pesan moral super halus. Ajaran itudiperagakan di dalam cerita fiksi : rebutan pusaka antara Dora dan Sembada. Mereka berduadianggap sebagai  pribadi yang kuat dalam hal memegang amanah.Dibuktikan, mereka rela mati demi menjunjung perintah Sang Ajisaka.


Dora dan Sembodo, menurut Hartono merupakan personifikasi dari dua
utusan yang memegang teguh perintah raja, implisit Tuhan.



Dora, oleh Prabu Ajisaka diminta menjaga sebilah keris. Ajisaka
berpesan, "Jangan diberikan kepada siapa pun. Kelak, aku sendiri yangakan mengambil keris ini,” sabda Sang Pabu tegas.


Lain ketika, tokoh Sembodo diperintah oleh  Ajisaka, "Ambilkan
kerisku. Saat ini keris itu di bawah penjagaan Dora. Katakankepadanya, bahwa kamu ambil keris itu karena perintahku."


Hubungannya dengan huruf Jawa, menurut Hartono adalah soal keterkaitan makna.HANACARAKA,  memiliki makna ana caroko, atau ada utusan. DATA SAWALA, diartikan sebagai datan suwolo, yang sepadan dengan pantangmenolak perintah. PADHAYANYA, diinterpretasikan keduanyasama-sama sakti atau  sama- sama berpegang teguh pada perintah bagindaRaja. Dora tak akan memberikan keris yang dijaga, kepada siapapun, sementara Sembodo ngotot mau ambil keris karena dia merasa mendapat perintah untuk itu.

Dan ujung dari tragedi tersebut, adalah MAGABATHANGA alias mati bersama karena masing masing berpegang teguh padaperintah Baginda Aji Saka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun