PENYAIR kaliber dunia Wily Brodus Surendra Rendra (WS Rendra) dalam antologi pusi bercorak balada menulis kritik sosial bertajuk "Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta". Si Burung Merak, kini telah tiada, tetapi prostitusi terus mewarnai peradaban Indonesia. Ada tekad revolusi mental, tetapi hal itu tidak menyentuh dunia pelacuran.
Joko Priyatmo (Jepe), pengamat  penyakit masyarakat, saat diminta komentarnya, menyatakan hal itu via sambungan seluler, (17/1/19). "Motif pelacuran adalah ekonomi. Ini yang dominan, mulai dari kelas rakyat biasa hingga orang-orang berpunya," sebut Jepe menunjuk alasan utama.
Dia menyebut, artis mengecani pejabat negara dengan tarip spektakuler Rp 80 juta semalam, itu terjadi juga di era Orde Lama (Orla) juga Orde Baru (Orba). Soal tarip saja yang berbeda. Â Merujuk sejarah kemanusiaan, prostitusi merupakan penyakit yang umurnya setua peradaban manusia.
"Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), tidak lebih dari macan ompong. Institusi ini efektif berperan sebagai penggaruk, namun tidak sanggup menyelesaikan masalah," kata dia.
Belakangan, lanjut Jepe, ramai motif kedua, yakni bukan mengejar duit (kekayaan) tetapi kebanggan. Bangga berzina menurutnya ini lebih mengerikan, karena buntutnya disertai penyebaran foto dan atau video tak senonoh di media sisosial, membuat penegak hukum sibuk dan pusing.
Di Gunungkidul, satu personil berinisial Adr harus duduk di kursi pesakitan, gara-gara berzina kemudian  rekaman tak senonohnya disebar di media sosial. Hal serupa terjadi pula di Trowulan Kabupaten Mojokerko, Jawatimur.Â
Pemuda berinisial FR (19) sengaja merekam video adegan intim dengan mantan kekasih berdurasi 1,21 detik 6 Januari 2019 silam.Â
"Alasan penyebaran video di grup Whatsapp simpel, karena FR patah hati bercampur dendam" tutup Jepe.