Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masa Depan Buku Setelah Covid-19

27 Oktober 2020   05:35 Diperbarui: 27 Oktober 2020   09:29 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Creativa Images/Canva Pro

Perjumpaan fisik tak dapat diprediksi bakal kembali normal. Alih-alih normal, kita memasuki era normal baru yang sama sekali berbeda dengan berlakunya protokol kesehatan ketat. WHO sudah menyatakan bahwa kita akan hidup bersama COVID-19 seterusnya. Salah satu harapan adalah vaksin yang dapat segera direalisasikan untuk mengadang virus.

Karena itu, toko buku fisik mungkin tinggal kenangan untuk sementara. Meskipun dibuka, orang masih takut keluar rumah. Saat awal COVID-19 terjadi menjelang lebaran, seorang kenalan saya di penerbit mengeluhkan tentang bisnisnya yang terhempas karena pembayaran dari toko-toko buku fisik terhenti juga. Hal itu seperti memotong urat nadi penerbit yang dibiarkan mati kehabisan darah.

Apa pun situasinya, buku-buku di gudang harus tersalurkan dan terutama terjual. Lokapasar adalah salah satu harapan meskipun di lokapasar itu penerbit harus bertarung dengan pelapak-pelapak mandiri yang juga memenuhi lapaknya dengan buku bajakan.

Saya membaca status dari orang buku yang mumpuni, Antonius Riyanto. Bang Anton memperlihatkan foto gudang toko buku daring yang dipersiapkan grup penerbitannya--bedakan antara toko buku daring (online book store) dan toko buku elektronik (e-book store). Ya, tentu grup penerbit besar tidak dapat sekadar menunggu dan melihat situasi yang terjadi tanpa berbuat apa-apa. Kolega Bang Anton, Kang Hikmat Kurnia yang juga Ketua Ikapi DKI pada beberapa status Facebook-nya mengungkapkan langkah-langkah darurat yang harus dilakukan penerbit buku, termasuk kemampuan untuk bertahan.

Saya membayangkan asosiasi penerbit sebesar dan sekelas Ikapi dapat membangun lokapasar buku tersendiri pada masa pandemi ini. Sebenarnya Ikapi sudah membangun toko buku daring sendiri sebelum pandemi bernama Ikapi Store. Namun, kiprahnya belum terlihat sebagai toko buku daring yang memajang buku-buku para penerbit. Hanya ada sekilas informasi di situs web Ikapi.

Dalam situasi seperti saat ini gerak cepat harus dilakukan untuk menghimpun kekuatan penerbit buku yang masih tersisa. Tambahan lagi, kreativitas harus ditunjukkan dengan mempertimbangkan cara-cara yang paling mungkin, paling tidak untuk sekadar bertahan. Sudah dapat dipastikan banyak penerbit anggota Ikapi maupun non-Ikapi yang kolaps dalam masa pandemi ini.

Alih Wahana Sebagai Masa Depan Perbukuan

Istilah 'alih wahana' belum semua orang akrab dengannya. Makna yang termuat di KBBI dapat dijadikan rujukan: peralihan suatu karya sastra atau seni ke media lain, seperti karya sastra ke film dan sebagainya; ekranisasi; pelayarputihan; filmisasi. Sebuah buku karya Sapardi Djoko Damono (alm.) bertajuk Alih Wahana cukup menjelaskan perihal ini karena karya beliau sendiri mengalaminya.

Puisi "Hujan Bulan Juni" dialihwahanakan menjadi film. Dari film dialihwahanakan menjadi novel. Alih wahana menunjukkan potensi sebuah konten dalam wujud buku, misalnya, beralih ke bentuk lain yang memungkinkan adanya penghasilan lain bagi penerbit, tentu juga bagi penciptanya.

Alih wahana ini sudah dilakukan oleh Penerbit Mizan pada karya-karya Dee Lestari beberapa tahun lalu. Grup Mizan pun mendirikan perusahaan rumah produksi sendiri (Mizan Production). Namun, apakah semua film produksi Mizan dari alih wahana novel itu berhasil? Tentu saja tidak.

Dalam obrolan nonformal bersama Mas Hernowo (alm.), beliau mengungkapkan juga bagaimana beberapa film yang berasal dari alih wahana novel tidak mencapai jumlah penonton yang diharapkan. Film Laskar Pelangi adalah salah satu contoh yang paling sukses dalam alih wahana novel ke film.

Pertanyaannya apakah alih wahana menjadi salah satu masa depan perbukuan pasca-COVID-19? Saya menyatakan hal ini sama saja dengan buku elektronik bahwa alih wahana sudah menjadi agenda yang berjalan di beberapa penerbit, terutama penerbit novel seperti Bentang Pustaka (Grup Mizan). Ia bukan sesuatu yang baru atau dapat diakselerasi pada masa pandemi. Kenyataannya industri perfilman, termasuk bioskop juga terdampak serius akibat COVID-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun