Berburu hakikat, bisa melalui pengalaman pernikahan. Dalam budaya Jawa misalnya, dibungkus dengan perlambang. Komplit, menggambarkan rasa bahagia ketika cinta mampu mengikat komitmen. Tadinya dua, lalu menjadi satu.
Sebelum pandemi, masih dapat ditemui gelaran upacara adat yang komplit. Acaranya padat berisi dan bergizi. Malah sering lebih menampakkan gengsi dari pemangku hajat.
Karena keadaan yang tidak memungkinkan, upacara adat saat ini dapat diringkas menjadi doa yang padat.
Di ujung awal, pernikahan itu dicitrakan sebagai kebahagiaan langgeng.Â
Ketika dijalani sehari-hari berdua, kebahagiaan tidak mesti berupa senang. Walau rasa bahagia di kala tidak senang, sering dikategorikan sebagai penderitaan.
Dalam perjalanan hampir tiba di ujung akhir, malah timbul pertanyaan : "Di manakah letak hakikat pernikahan. Di awal atau justru di akhir perjalanan ?"
Misteri pasti hadir ketika akan menjawab pertanyaan ini. Kebanyakan dari kita menjawab, bahwa letak kebahagiannya justru di awal.
Latar belakang jawabannya mungkin didasari oleh sensasi senang. Awal pernikahan penuh pengalaman baru. Misal : menunggu kelahiran anak pertama, dan meniti karir gemilang. Khasanah tersebut melekat lama sekali.
Ketika semua pengalaman manis getir telah dilalui, sampailah sudah di ujung akhir yang ternyata tidak selalu berarti menua bersama.
Hakikat pernikahan di ujung perjalanan, kebanyakan tidak dimaknai seperti ketika di ujung awal dulu. Mungkin hal ini karena masih dijalani, dan belum menemukan pengalaman bermuatan cinta sejati lagi.
Pernikahan yang diikat oleh semangat cinta sejati, pasti berawal dan berakhir. Dari hulu, akhirnya mesti ke hilir.