Serakah dan kesenangan ternyata bisa saling menjelaskan. Hakikatnya, kesenangan itu sungguh penting, jika sungguh-sungguh dimaksudkan demi kebaikan bersama.
Tapi setahu saya, dalam praktik sifat serakah, sering dikelompokkan dengan perilaku loba, rakus, dan tamak. Malah ada yang menyamakan keserakahan itu dengan angkara. Hwadhuh. Berarti kita dituduh sebagai sosok yang bengis, jahat, rakus, dan tamak.
Ah sudahlah. Kita akui saja, bahwa selalu ada yang harus istimewa dan berbeda. Contoh : bersepeda. Variasinya bisa bermacam-macam. Bersepeda statis, bersepeda onta, hingga bersepeda mewah, tak peduli barang selundupan.Â
Boleh lewat pematang, lereng bukit, di dalam negeri, hingga ke luar negeri. Tak peduli bila sedang mewabah pandemi.
Hobi yang bernuansa harga diri memang begitu. Apalagi kalau dilekatkan dengan gengsi atau "ajining sarira". Busana apakah yang wajib saya kenakan ?
Serakah seolah tak berujung. Apalagi bila terfokus pada persaingan yang tidak sehat. Misal : sudah punya sepuluh, masih ingin mengoleksi duapuluh sepeda keluaran terbaru. Tantangan pun berkembang. Ikut kompetisi atau sekedar rekreasi mendunia, ingin diwujudkan semua.
Kalau sudah begini, akan segera lupa terhadap rasa kalah, tak mau lagi berpenampilan rendah, apalagi kembali ke kehidupan susah. Serakah memang terkesan lebih gagah.
R