Saat hati sedang memanas, lidah akan ikut-ikutan tajam. Tak sadar, ia mampu memberondong dengan peluru kata paling berdendam. Jika demikian, lebih baik diam.
Amarah merupakan emosi spontan. Diam juga bersifat spontan. Dengan demikian tidak semua orang bisa melakukan. Kecuali mereka yang giat berlatih, mampu memilih kapan pengendalian diri itu dilakukan.
Segala sesuatu butuh praktik terbaik. Tidak semua kemarahan dihadapi dengan diam tidak berbicara.Â
Di tengah kemarahan yang meledak-ledak, alangkah bijak jika menunda untuk menulis. Entah itu artikel, media sosial, bahkan surat pribadi. Tahu sendiri. Emosi yang gagal redam, pasti penuh kemarahan yang runcing tajam. Setelah tidak marah lagi, kita akan malu tersipu-sipu.
Emosi yang peka terhadap kondisi lingkungan, ibarat menyeberangi sungai. Jika di sungai pedalaman masih ada buaya, tak elok mengganggu mereka sebelum penyeberangan kita.
Kita sering punya kawan yang ahli berdebat. Lidahnya benar-benar tidak bertulang. Tidaklah nyaman bila mereka ada di tengah-tengah suasana obrolan akrab kita. Teman si ahli debat tentu akan menguasai arah pembicaraan. Tidak semua orang suka.
Lidah memang tidak bertulang. Hati bisa hangus terpanggang, bila kita tidak terbiasa menyetel suasana hati. Kapan momentum untuk diam, dan kapan harus berbicara. Ternyata ini membutuhkan disiplin yang harus dipraktikkan secara luar biasa.