Setiap menjelang lebaran ada tradisi mudik. Orang tua di "udik", rindu bertemu dengan anak cucu. Sementara itu anak dan cucu pun begitu. Semua membutuhkan persiapan dan pembiayaan. "Jer basuki mawa beya".
Sesuatu terasa hilang, bila mudik terhalang. Banyak penyebabnya, salah satunya karena musim pandemi.Â
Mudik itu merindu hulu. Pergi ke hulu, bermakna kembali ke asal muasal atau "sangkan paraning dumadi".Â
Manusia yang bersibuk diri menghilir, pas lebaran, langsung teringat hulu. Hulu dan hilir antara lain disatukan dalam momentum lebaran.
Pada hakikatnya, kebutuhan mudik adalah kepentingan orang per orang. Di sini terdapat kebebasan, yang tidak bisa diintervensi.
Tetapi dengan alasan pandemi, Pemerintah mengeluarkan aturan. Mana yang boleh, dan mana yang dilarang.
Tradisi mudik telah berlangsung turun temurun. Ada perasaan kehilangan, ketika pelaku tradisi ini tidak bisa memenuhinya.
Katakanlah tradisi itu bisa diganti dengan bantuan teknologi, tetapi sensasi bertatap muka bertukar cerita, sangat spesifik kesannya.
Aturan mudik dibuat semata-mata untuk mengurangi risiko covid, yang berdasar data sebelumnya, melonjak seratus persen setelah berlibur panjang.
Setelah pengalaman dua kali lebaran berhalangan mudik, jangan-jangan malah tercipta alternatif kebiasaan baru dalam rangka menyambut lebaran.Â