Nafsu itu tidak beku. Gampang mencair dan mengalir. Bahkan kalau banjir, melimpah ruah, karena memang air bah.
Gerak hati memang begitu. Berlebih-lebih, intens, dan mampu mendominasi perasaan terdalam. Semisal : kemarahan, kenikmatan, kemarahan, cinta, dan kecemburuan.
Perasaan itu mencengkeram keinginan yang tak terhingga banyaknya. Ia pun berkuasa dalam pengendalian tingkah laku.
Itulah passio atau nafsu, getaran, atau gairah yang membuncah. Selalu agresif, berapi-api, seakan tak pernah lelah.
Cinta dan cemburu itu sepasang. Kiprahnya membutakan, bahkan logika ditinggalkan : "Omnis amans amens". Bila seseorang sedang jatuh cinta, maka akal akan terbang melayang.
Wilayah cinta makin melebar. Bapak terhadap anak, suami terhadap istri, bahkan pilihan terhadap politik kekuasaan. Semua terbingkai dalam kebangkitan gairah atau passiones concupiscibiles. Ada pula nafsu yang membangkitkan kemarahan atau passiones irascibiles. Daya tarik atau kemungkinan penolakan senantiasa menyertainya.
Menyebarkan pernyataan yang menyudutkan, ketika para pihak putus hubungan, dilakukan oleh seorang ibu yang dengan enteng melampiaskan emosi : "Kok anak presiden seperti anak macan, hingga putri saya diputus tanpa alasan oleh dia sebagai mantan". Terbayang emosinya seperti sedang diiris sembilu. Lebih sakit tinimbang disunat dengan teknik zaman dulu.
Nafsu itu memang terlalu. Bisa meledak, meletup-letup, melukai jiwa yang sedang lara. Â Cinta memang punya sifat mustahil. Oleh karenanya, kemusykilan atau absurditas akan terus mengintil. Sampai ke ujung dunia.