Aib sedapat mungkin ditutupi. Itu watak dasar manusia, untuk mengudungi rasa aman ketika melintas zaman. Tanpa disadari, pada hakikatnya tindakan tidak patut itu sama dengan meneror diri sendiri, yang berlangsung sampai mati. Siapa pun dia, jika hatinya dibiarkan hampa, pasti rentan digerogoti hama.
Itulah aib. Kenistaan perilaku, yang jika ketahuan, baru mikir cacat dan cela. Selanjutnya mengapung di keruh citra tercemar.
Pada hakikatnya, para pendosa itu termasuk suka yang dangkal-dangkal. Seperti codhot, mereka terbang malam-malam, menikmati manisnya buah yang ditanam orang. Celakanya, manusia ada yang berburu buah codhotan. Ditanggung manis, tidak usah repot memeram.
Bagi yang telanjur aib, di nuraninya terpendam luka yang kekal dalam. "Aeternum servans sub pectore vulnus".
Sebenarnya di dalam ranah filsafat juga dikenal terminologi kebaikan tertinggi ("summum bonum"). Di samping aktualisasi diri, faktor uang dan kekuasaan ternyata dipandang sangat terhormat oleh manusia. Oleh karena itu, ketika meraihnya pun, menghalalkan segala cara.
Dalam situasi yang lebih bebas, manusia akan mewujudkan keinginannya, jika ditunjang oleh situasi yang memungkinkan.
Terdapat ruang yang lebih leluasa dalam pencapaian tujuan pribadi. Entah, prosesnya melalui tahapan yang komplit, atau sepotong-sepotong.
Pilihan untuk membuka aib, atau menutupnya sangat tergantung pada pemahaman dalam bertransparansi. Semakin ditutup, maka wabah ini akan semakin terpendam dalam. Sewaktu-waktu mungkin masih akan terulang oleh orang lain, yang sedang berspekulasi dalam beraib-aib.