Penundaan pembelian pesawat bisa menjadi momentum baru bagi GI untuk melihat kehadiran peswat baru yang lebih "fuel efficeint" pada kelasnya. Pesawat CS-100 dan CS-300 yang semula produk Bombardier Aerospace, sekarang telah menjadi bagaian dari Airbus fleet dengana nama baru A-220. Pesawat dengan "fuel efficient" paling baik dikelasnya, paturlah diperhitungkan oleh GI. Mengingat avtur sebagai faktor luar mempunyai dampak langsung pada untung rugi perusahaan dan prosentasenya besar, lebih dari satu digit.
Kompleksitas dan Margin Yang Rendah
Menjalankan bisnis airline memang kompleks melihat banyaknya parameter, sementara marginnya rendah, sekitar satu digit. Laba bersih GI (2013-2017) paling tinggi 2.04%, rugi terbesar -9.38%. Artinya diperlukan optimasi disemua parameter untung rugi.
Akan menarik untuk mengetahui bagaimana efisiensi fuel berdasarkan spesifikasi pembuat pesawat dibandingkan dengan performa riil sesungguhnya dilapangan. Laporan KU barangkali bisa menampilkan kinerja pesawt, membandingkan masing2 Â jalur yang dipakai, kesibukan airport, kinerja Pilot, jenis dan model pesawat dlsb. Semua hal ini memang belum disajikan dalam laporan KU. Kelak bila telah ada para "flag carrier lovers", akan dapat memberikan kritik yang membangun.
Penutup
Demi keselamatan penerbangan, pendisain pesawat terbang tidak bisa melakukan "excuse" dengan tidak memproteksi pesawat terhadap petir, dengan alasan karena itu faktor luar. Demikian pula, demi menjamin kelangsungan hidup perusahaan, adalah bijak untuk tidak pula melakukan "excuse" terhadap harga avture karena faktor luar. Itu sudah harus diprediksi dan masuk dalam perhitungan keuangan agar perusahaan selalu untung.
Demikianlah hal2 yang penulis pandang mungkin luput perhatian jajaran Direksi GI, dan untuk menjadikan perhatiannya. Semoga bermanfaat.
Wassallam
Bambang Setijoso
Aircraft engineer, telah bekerja 33 th di dunia industri pesawat dalam dan luar negeri (IPTN,BA,MAC).