Mohon tunggu...
Bambang Setijoso
Bambang Setijoso Mohon Tunggu... Electromagnetics / Senior Electrical Engineer Specialist -

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Yang Mungkin Luput dari Perhatian Garuda Indonesia

29 Juli 2018   05:08 Diperbarui: 29 Juli 2018   08:00 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Ada empat berita akhir2 ini yang membuat kita layak memberi acungan jempol pada Garuda Indonesia (GIAA). Yaitu:

  • Tentang Pilot dan Karyawan Garuda Indonesia (GI) membatalkan mogok, setelah dicapainya kesepakatan antara Menteri BUMN Rini Soemarno, Assosiasi Pilot Garuda (APG) dan Serikat Karyawan Garuda (Sekarga), ref. Jakarta Globe, 6 Juli 18.
  • GI meraih Best Cabin Crew untuk kelima kalinya secara berturut turut berdasar Rating Skytrack.
  • GI termasuk dalam Top Ten Best Airline, versi Skytrack. Dan
  • GI berhasil merenegosiasi kontrak penyewaan pesawat sehingga bisa turun per bulannya US$ 2,5 juta hingga US$ 3 juta (Tempo 18 Juli 18). Semoga menjadi indikasi akan bangkitnya kembali GI dari berulang kali merugi.

Artikel ini bermaksud hendak memberikan inputan atas hal2 yang mungkin luput dari perhatian pihak Direksi GI. Kajian lebih lanjut diharapkan pada jajaran GI untuk membuat GI tidak saja patut dibanggakan sebagai "flag carrier", tetapi juga kemudian benar2 selalu untung dalam berbisnis. Syukur kalau kemudian bisa masuk kedalam 10 besar "most profitable airline".

Artikel ini dibuat utamanya berdasarkan Laporan Keuangan GI 2017 dan Q1 2018; juga dengan memperhatikan tayangan IBF Tvone dengan topik Turbulensi Garuda Sampai Kapan, 7 Juni 18; memperhatikan tayangan CNN TV dengan judul Strategi Garuda Atasi Turbulensi Ekonomi, 30 Agustus 17, dan puluhan artikel dari berbagai media yang mengkiritisi kinerja GI.

Faktor Luar / Harga Avtur

Salah satu kambing hitam kerugian GI yang paling sering disebut adalah kenaikan harga avtur. Ya harga avtur memang paling enak di "blame" seolah ingin megatakan kalau sudah faktor ya sudah tak ada yang bisa dilakukan lagi, karena diluar kontrol. Akan tetapi nanti akan diperlihatkan bahwa dengan harga avtur yang jauh lebih tinggi GI pernah untung. Disamping itu, kalau avtur adalah faktor yang tak bisa dihindari maka seakan juga ingin mengatakan bahwa semua bisnis airline akan rugi, jika harga avtur diluar prediksi semula.

Sebelum masuk ke topik ini lebih dalam, penulis ingin menyampaikan sesuatu sebagai analogi berpikir sebagai berikut. Bagi para disainer pesawat terbang, adanya sambaran Petir adalah suatu "threat". Besarannya sangat bervariasi. Sebagai faktor luar, tak seorangpun dapat menentukan berapa besar "threat" itu, jika Petir menyambar pesawat yang sedang terbang. Tetapi toh demi keselamatan penerbangan, regulator dan disainer pesawat tidak melakukan "excuse" terhadap faktor luar atau faktor alam. Sebaliknya mengatisipasinya dengan menentukan besarnya "threat" bedasarkan data riset. Angka2nya kemudian dijadikan patokan untuk mendisain proteksi pesawat terhadap Petir dan juga melakukan uji / testing dengan Petir buatan.  

Alangkah bagusnya jika harga avtur sebagai faktor luar ini oleh airliner bisa juga diprediksi besaran "threat" maksimum. Diprediksi  perubahan harga terhadap waktu dan dimaksukan dalam parameter perhitungan keuangan sehingga airline sustain terhadap gangguan harga avtur. Mirip dengan pendekatan disainer pesawat mengatasi masalah Petir.

Mestinya harga avtur yang sedikit banyak dibuat oleh manusia lebih bisa diprediksi daripada besaran Petir yang merupakan faktor alam (sesuatu diluar kekuasaan manusia).

Perubahan harga avtur yang memiliki suatu kurva, suatu tren, mestinya juga lebih bisa diantisipasi dampaknya dibandingkan dengan "threat" Petir yang datangnya bisa secara tiba2, instant, tidak mengikuti suatu tren.

Mungkin sebagai faktor luar, perubahan harga avtur bisa dijadikan salah satu poin "term and condition" dalam bisnis pembelian ataupun penyewaan pesawat. Bukankah umum disadari oleh banyak pelaku bisnis bahwa harga bahan bakar memang berdampak kebanyak hal.

Diatas dikatakan bahwa GI justru pernah untung dengan harga bahan bakar yang jauh lebih besar dari harga tahun 2017. Dimana dikatakan salah satu sebab kerugian tahun 2017, adalah dari harga Bahan Bakar  USsc/L = 42.96 (2016) ke USsc/L =  50.35 (2017). Padahal harga Bahan Bakar pada tahun 2012 pernah mencapai Usc/L, 90.0 dan pada tahun 2013, Usc/L = 87.59, dan perusahaan pada saat itu masih untung. Memang sikonnya berdeda. 

Pada tahun-tahun tersebut jumlah armada, dan jumlah penumpang belum sebesar tahun 2017. Sementara jumlah pegawai juluh jauh lebih lebih sedikit dibanding jumlah pegawai tahun 2012. Ini bisa menjadi pertanyaan lanjutan adakah rasio antara jumlah armada, dan jumlah penumpang masing2 terhadap jumlah pegawai berpengaruh terhadap kinerja GI. Sekilas terkesan lebih menguntungkan dengan armada lebih kecil.

Bagaimana GI akan menerangkan hal ini. Walaupun penyebab kerugian di tahun 2017 memang tidak semata hanya karena harga avtur tetapi juga karena "extra ordinary items". Toh jika extra ordinary items" ini dikeluarkan dari perhitungan rugi laba, tetap masih menghasilkan kerugian.

Apakah mungkin jumlah armada yang membengkak dari 140 (2013) ke 203 (2017) menjadi penyebab?, ini perlu dikaji lebih lanjut. Mengingat pembengkakan armada tidak diikuti dengan tambahan pegawai tetapi justru penurunan jumlah baik Pilot, maupun Cabin Crew.

Antara Aspek Bisnis dan Operasi Pesawat 

Dikatakan bahwa, triwulan pertama tahun 2017 diawali dengan kondisi peningkatan beban operasional sebesar 21,27% yoy yang merupakan dampak dari peningkatan harga bahan bakar sebesar 36,84% yoy, serta investasi terkait beban biaya pesawat (bahan bakar dan biaya rental pesawat) dari ekpansi

bisnis di internasional. Peningkatan pendapatan sebesar 6,25% yoy belum mampu menutupi beban operasional yang ada sehingga rugi.

Tampaknya penunjukkan Pahala Nugraha Mansury sebagai eks Direktur Keuangan Bank Mandiri tepat untuk memilah milah mana bagian operasional pesawat untuk dioptimalisasikan (terkait dengan produk pesawat dan jasa airline) dan mana bagian bisnis "as usual" yang juga perlu dioptimumkan.

Pendapatan

Dilaporkan pendapatan pertahun naik terus. Itu bagus. Tetapi bukankah itu suatu kenisbian karena dibarengi dengan jumlah armada yang naik terus dari 2013 sd 2017. Kalau jumlah armada naik tetapi pendapatan tetap, nah itu akan menjadi masalah besar. Jangan sampai kita berada pada kesimpulan lebih baik dengan armada kecil tetapi untung daripada dengan armada besar tetapi rugi ( walaupun pendapatan naik / lebih besar).

Kalau kita lihat dari parameter "passanger yield" yang merupakan pendapatan penumpang per RPK (pendapatan penumpang yang berasal dari jumlah penerbangan dikalikan dengan jarak kilometer yang diterbangi), memang tren menurun terus. Contohnya dari tahun 2013 sampai 2017, berturut2 sbb.:  9,06;  8,57; 7,46;  6,93; 6,71 USc. Tidak ada penjelasan dalam KU 2017 mengenai hal ini, apakah penurunan rasio itu ada dalam ambang batas normal, juga berapa nilai standar pada umumnya.

Jumlah armada yang membesar bak raksasa tampaknya bukan suatu penghalang untuk menjadikan perusahaan untung. Kenyataannya American Airline termasuk yang teratas dari " The 10 Most Profitable Airline of The Globe"  dengan jumlah armada 1556, th 2016.

Kinerja Operasional

Ada yang menarik dari laporan KU GI 2017, yaitu dari Tabel Operasional dan Tabel Pegawai pada bagian Kinerja  Operasional dan Pengembangan Pegawai.

Terlihat jumlah armada meningkat dari sejumlah 140 di th 2014 menjadi 202 di th 2017. Sementara jumlah Pilot malah menurun dari 1511 ke 1289 dan Cabin Crew dari 3427 ke 3253. 

Dilihat dari aspek rasio armada per jumlah Pilot atau per jumlah Cabin Crew, atau FOO maupun Ground Staff, semuanya naik. Artinya Direksi GI telah berhasil mengefisiensikan pegawai. Maka patut dihargai bahwa Direksi GI masih dapat mejaga kenaikan pendapatan terus menerus dengan beban kerja dipundak masing2 pegawai makin besar.

Disisi lain perlu diperhatikan beban kerja ini masih tergolong wajar atau sudah mendekati ambang kritis. Pertanyaannya adalah mungkinkah penurunan jumlah Pilot dengan jumlah armada yang semakin membengkak telah membuat konsentrasi untuk mengendalikan pesawat dengan tingkat efisiensi tertinggi menjadi menurun. 

Faktor rasio jumlah armada dengan jumlah Pilot, beserta "applicable rating", kelelahan bisa ditilik lebh jauh. Jika ada datanya, akan menarik untuk melihat rata2 penggunaan bahan bakar pada periode jumlah armada masih sekitar 140 dan sekitar 200, untuk masing2 jalur dan jenis, serta model pesawat yang digunakan. Perbandingan antara jumlah armada per jumlah Pilot memang barangkali tidak bisa digebyah uyah secara rata2, tetapi dilihat untuk masing2 jenis pesawat dan rating Pilot tersedia. "Number of Pilot Crew per Aircraft" tampaknya memang tidak bisa di gebyah uyah, pukul rata.

Kita katakan diatas tadi bahwa dengan harga avtur yang tinggi di tahun 2012/2013 toh GI masih untung. Padahal disebutkan dalam laporan keuangan masalah harga BBM ini bisa mencapai diatas 30% biaya operasi (faktor terbesar). Maka segala upaya "fine tune" pemakaian avtur akan punya arti. Lebih2 margin pesawat hanya berada pada orde satu digit saja.

Dilihat dari rasio peningkatan jumlah (armada, penumpang, pendapatan dll.) dibandingkan dengan jumlah pegawai yang lebih sedikit, kompleksitas bisnis Airline, aspek bisnis versus operasional peswat,  maka penambahan Direksi boleh jadi untuk mengoptimalkan masing2 bagian. Belum serta merta dikatakan telah terjadi pembengkakan.

Low Cost Carrier (LCC) 

Dari laporan KU 2017, tingkat kerterisian pesawat LCC dari Citilink tampak lebih bagus dari GI Main Brand berturuturut selama kurun 2013 -2017. Boleh jadi maraknya pariwisata, harga tiket yang relatip murah dan tiadanya kendaraan lain selain pesawat terbang yang bisa membuat penumpang melakukan efiseinsi waktu, telah mendongkrak kinerja keterisian LCC lebih baik daripada GI. Maka layaklah untuk diberi bobot perhatian dengan lebih membuka jalur2 baru domestik yang kaya akan destinasi pariwisata dan dengan menambah armada yang lebih "fuel eficient".

Pesawat Baru

Penundaan pembelian pesawat bisa menjadi momentum baru bagi GI untuk melihat kehadiran peswat baru yang lebih "fuel efficeint" pada kelasnya. Pesawat CS-100 dan CS-300 yang semula produk Bombardier Aerospace, sekarang telah menjadi bagaian dari Airbus fleet dengana nama baru A-220. Pesawat dengan "fuel efficient" paling baik dikelasnya, paturlah diperhitungkan oleh GI. Mengingat avtur sebagai faktor luar mempunyai dampak langsung pada untung rugi perusahaan dan prosentasenya besar, lebih dari satu digit.

Kompleksitas dan Margin Yang Rendah

Menjalankan bisnis airline memang kompleks melihat banyaknya parameter, sementara marginnya rendah, sekitar satu digit. Laba bersih GI (2013-2017) paling tinggi 2.04%, rugi terbesar -9.38%. Artinya diperlukan optimasi disemua parameter untung rugi.

Akan menarik untuk mengetahui bagaimana efisiensi fuel berdasarkan spesifikasi pembuat pesawat dibandingkan dengan performa riil sesungguhnya dilapangan. Laporan KU barangkali bisa menampilkan kinerja pesawt, membandingkan masing2  jalur yang dipakai, kesibukan airport, kinerja Pilot, jenis dan model pesawat dlsb. Semua hal ini memang belum disajikan dalam laporan KU. Kelak bila telah ada para "flag carrier lovers", akan dapat memberikan kritik yang membangun.

Penutup

Demi keselamatan penerbangan, pendisain pesawat terbang tidak bisa melakukan "excuse" dengan tidak memproteksi pesawat terhadap petir, dengan alasan karena itu faktor luar. Demikian pula, demi menjamin kelangsungan hidup perusahaan, adalah bijak untuk tidak pula melakukan "excuse" terhadap harga avture karena faktor luar. Itu sudah harus diprediksi dan masuk dalam perhitungan keuangan agar perusahaan selalu untung.

Demikianlah hal2 yang penulis pandang mungkin luput perhatian jajaran Direksi GI, dan untuk menjadikan perhatiannya. Semoga bermanfaat.

Wassallam

Bambang Setijoso

Aircraft engineer, telah bekerja 33 th di dunia industri pesawat dalam dan luar negeri (IPTN,BA,MAC).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun