Pagi itu, berita kecil muncul di salah satu portal lokal: seorang kepala cabang bank ditemukan tewas di rumahnya. Polisi menyebut belum ada indikasi pembunuhan. Tapi di balik laporan singkat itu, bergema pertanyaan yang menggema di kalangan pegawai perbankan dan nasabah:Â apakah ia tahu terlalu banyak?
Kabar angin mulai menyebar. Sebelum meninggal, sang kepala cabang dikabarkan sedang menyelidiki aliran data mencurigak dari ratusan rekening dormant --- rekening "mati" yang sudah tak aktif bertahun-tahun. Data di dalamnya, ternyata, telah bocor dan digunakan untuk pembukaan rekening bodong, pinjaman online ilegal, bahkan pencucian uang.
Apakah ini hanya kebetulan? Atau justru ini adalah deklarasi perang baru di dunia perbankan --- bukan perang antarbank, tapi perang data antara sistem, mafia siber, dan oknum internal yang haus akan informasi bernilai tinggi?
Rekening Dormant: Harta Karun Digital yang Tak Terjaga
Banyak orang mengira, rekening yang sudah tidak digunakan selama bertahun-tanpa (disebut rekening dormant) adalah akhir dari sebuah jejak finansial. Salah besar.
Faktanya, meski tidak aktif, data pribadi di dalamnya tetap tersimpan: nama lengkap, nomor KTP, alamat, riwayat transaksi, bahkan pola pengeluaran. Dan karena dianggap "tidak penting", seringkali perlindungan sibernya lebih longgar dibanding rekening aktif.
Di pasar gelap dark web, data dari rekening dormant sangat mahal. Kenapa?
- Identitasnya sudah terverifikasi oleh bank, sehingga cocok untuk pemalsuan.
- Kurang dipantau, jadi aktivitas mencurigak bisa lolos dari radar deteksi.
- Bisa menjadi pintu masuk untuk social engineering atau penipuan berkedok bank.
Seperti yang disampaikan dalam diskusi `#KeamananData`, "Di era digital, yang mati pun bisa dimanfaatkan. Dan yang membocorkannya, bisa mendapat untung besar."
Membongkar Konspirasi: Antara Data Bocor dan Nyawa yang Hilang
Tidak ada bukti langsung yang menghubungkan kematian kepala cabang dengan penyelidikannya. Tapi jika kita melihat secara logis, skenarionya sangat mungkin:
1. Â Ia menemukan anomali: puluhan rekening dormant yang tiba-tiba aktif dan digunakan untuk transaksi mencurigak.
2. Â Ia mencoba melacak aliran data, dan menemukan jejak insider threat --- pegawai bank yang menjual data.
3. Â Ia menjadi ancaman bagi jaringan yang lebih besar, yang memanfaatkan data tersebut untuk kejahatan finansial skala besar.
4. Â Ia diminta diam. Ia menolak. Dan kemudian, ia tewas.
Ini bukan lagi soal uang. Ini soal kekuasaan atas informasi. Seperti dalam dunia intelijen, siapa yang mengendalikan data, dialah yang mengendalikan segalanya.
Seorang pakar keamanan siber yang pernah diwawancarai menyebutnya: "Saat data bernilai lebih dari uang tunai, maka perlindungan terhadap data harus setinggi perlindungan terhadap harta negara."