Energik, spontan dan ekspresif. Sebentar meletup, menghentak dan meledak. Menebar gairah dan pesona. Namun sebentar kemudian, gampang lunglai, meredup dan melempem. Wajah letih, tapi hati membara. Seperti itulah kondisi Aryati Permatasari, saat ini. Ia sedang marah! Bukan kepada seseorang atau pihak tertentu. Melainkan marah terhadap dirinya sendiri.
"Kenapa aku begitu dungu? Ngapain gua jadi bloon banget begini?"
Pertanyaan sarat sesal seperti itu, terus membombardir jiwanya sejak pulang bersepeda tadi pagi. Sesampainya di rumah eyangnya, ia langsung tumpahkan kekesalannya lebih frontal lagi. Ia sungkurkan tubuh rampingnya ke atas sofa panjang di ruang tamu. Sambil berulang kali tangannya memukul-mukul sofa.
Melihat itu, karuan saja baik maminya, eyang kakung dan eyang putrinya, segera menghampirinya.
"Kemarin bergairah banget, sekarang kok lungkrah, Cu?"
"Iya, kok cepet banget berubahnya. Ada apa sih, sayang?" tanya Maria, maminya. Sambil merangkul dan mengusap wajah putrinya yang masih bersimbah keringat.
Lalu dengan lesu Aryati menceritakan pengalaman pahit yang menimpanya. Ketika tadi masuk ke sebuah warung untuk membeli es dawet kesenangannya, ia lupa menggembok sepedanya. Ia sandarkan begitu saja di luar. Akibatnya, sepeda ontel kesayangannya itu raib disambar orang.
"Haah.... sepedamu diembat maling?" tanya neneknya. Yati anggukkan kepalanya.
"Aku emang bego banget! Ngapain kagak hati-hati? Gak bisa gowesan lagi dah..."
"Apa perlu dilaporin ke polisi, Romo?" Maria minta pendapat ayahnya.
"Tak perlulah! Itu cuma bikin repot aja. Dan lagi kasihan pak polisinya. Kerjaan mereka kan banyak?"