Geregetan, gemas dan galau berat. Itulah suasana hati Asri beberapa hari ini. Ingin sekali ia tumpahkan dalam bentuk kemarahan. Tapi ia tak sanggup melakukannya. Sejengkel apapun hatinya, tak mungkin ia marah terhadap orang yang paling ia hormati dan kagumi selama ini. Maka yang terjadi, Astri makin kelelahan dihajar oleh kejengkelannya sendiri.
"Kamu kok tampak seperti sedang  badmood ya, Nduk? Ada apa sih?" tanya ibunya dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri kemarin.
"Papi sih, yang nggak mau ngerti aku....."
"Papimu kenapa?" kejar ibunya. Lalu dengan lembut membelai rambut Asri dan merapikannya. Karena sengaja dibiarkan berantakan, tak disisir. Sama sekali tidak seperti adatnya.
"Beliau belum mau terima kedatangan orang tuanya Mas Moko ke sini....."
"Memang mereka mau ke sini?"
"Rencananya Mas Moko kan mau mengajak ayah ibunya untuk silaturahmi pada Lebaran lusa, Mi." Jawab Fitri sambil menggaruk rambutnya yang sebenarnya tidak gatal.
"Apa alasan kebelum-mauan Papimu menerima mereka?"
"Papi hanya berkata, akan ada saatnya. Tapi bukan sekarang....." Asri menjawab sambil merebahkan kepalanya ke dada ibunya.
Asri sangat sadar, bahwa mau tidaknya Papinya menerima kedatangan orang tua Moko, adalah mutlak hak beliau. Tapi ia ingin jelas, apa alasan ayahnya yang sebenarnya? Masuk akalkah? Apa untung dan ruginya? Apa pertimbangannya hanya dari sudut kepentingan ayahnya saja? Mengapa tidak mempertimbangkan kepentingan dan perasaan dirinya? Kenapa diabaikan begitu saja, niat baik dari Moko? Bukankah yang paling terkait dalam hal ini, adalah dirinya dan Moko?
"Kukira Papimu pasti punya alasan yang kuat, Nduk!" Ibunya makin mengeratkan Asri dalam rangkulannya.