Melalui telepon, Johan memintaku untuk bersedia menerima kedatangannya. Ada hal yang sangat penting yang ingin dia bicarakan denganku. Â Dungaren banget. Tumben amat. Ini sama sekali tak masuk akal dan aneh.
Ketika masih sama-sama di bangku kuliah saja, aku dan dia hampir tak pernah ngobrol berdua. Johan memang bukan teman akrabku. Dia punya geng-nya sendiri. Aku pun juga. Bahkan setelah sama-sama tamat kuliah, aku sama sekali tak tahu-menahu apapun tentang dia.
Sampai kemudian dia menjadi orang yang sangat menyebalkan dan menohok hatiku, karena menikahi Milka, pacarku. Itu memang bukan sepenuhnya karena kebrutalannya. Separonya adalah akibat kelemahan Milka dan ibunya sendiri. Sejak saat itu, sepertinya Johan telah mendeklarasikan dirinya sebagai pemenang.
Dan sekarang, tiba-tiba ia ingin menemuiku. Ini sungguh-sungguh sebuah kejutan. Kejutan yang menguntungkan atau malah akan merugikan? Tapi apa pun itu, aku siap menghadapinya! Aku pun ingin tahu, apa maunya dia?
"Bagaimana Teman? Kapan kita bisa ketemuan?" Â tanyanya di telepon.
"Maaf, Bro! Saat ini aku lagi sibuk banget....., nanti kalau sudah senggang kukabari."
"Oke, tapi tolong usahakan bisa secepatnya, soalnya ini krusial banget!"
"Begini saja, supaya pertemuan nanti efektif, kamu tulis dulu pokok persoalannya, dan kirim ke emailku. Dengan jelas lebih dulu inti permasalahannya, pas pertemuan nanti tinggal menindak-lanjutinya saja. Segera akan ku-sms alamat emailku." Lalu kututup hapeku.
Itu kulakukan agar Johan bisa belajar menghargai orang lain. Supaya jangan seenaknya dia mengatur-atur orang lain. Supaya dia jangan semaunya sendiri memanfaatkan orang lain, hanya demi kepentingannya  saja. Terus terang, sesungguhnya aku malas sekali berurusan dengan lelaki yang satu ini. Kupikir tak ada manfaatnya sama sekali bagiku. Sebaliknya, justru mudaratlah yang akan kudapat.
"Kamu dendam ya, padanya?" Bisik suara lain di hatiku.
"Ngapain dendam? Tidak! Aku tak mau habiskan energi untuk mendendam pada siapa pun!"