Menjenguk ibu adalah kebaktian.Yang keluhurannya melampaui hormat maya pada para tuan. Mencium tangan dan pipi bunda adalah kemuliaan. Yang aroma wangi sukmanya mengatasi hembusan jiwa siapa pun. Dan makan bersama ibu adalah satu kenikmatan istimewa.Yang kelezatannya tak tertaklukkan.
 Keyakinan itulah yang membawa Nono pulang kampung. Dalam setahun, ia biasanya hanya sempat menjenguk ibunya tiga atau empat kali saja. Itu pun cuma sehari semalam, setiap kali jenguk. Tetapi kali ini, ia sengaja mengagendakan kunjungannya selama tiga hari tiga malam.
"Aku mau mudik, Cak!" kata Nono pada Santo via ponsel.
"Kapan persisnya Sampean tiba?"
"Besok lusa, Cak.."
"Kalau pulang mbok ya yang agak sedikit lama..."
"Beres, aku sediakan waktu tiga kali lebih lama dari biasanya, Cak."
"Siip, aku siap menemani ke mana pun Sampean ajak."
                              ***
Kebahagiaan merebak ke sekujur hati Nono, ketika melihat ibundanya sehat-sehat saja. Wanita yang sudah berumur tujuh puluh tahun itu, masih trengginas melakukan aktivitas rutinnya. Menyapu halaman depan rumah. Membaca koran lokal. Menyirami bunga-bunga. Jalan kaki di pagi hari.Â
Senam manula dua kali seminggu. Bahkan kalau tidak dilarang oleh anak-anaknya, perempuan sepuh itu masih bisa naik sepeda ontel ke pasar. Daya ingat, penglihatan dan pendengarannya masih bagus. Cuma ada beberapa gigi beliau yang sudah palsu . Tetapi yang paling menyejukkan Nono, namanya selalu disebut dalam doa-doa bundanya.