Terkait dengan snapchat generation, belakang ini sempat beredar istilah 'tiktok syndrome'. Sempat heboh dan viral dengan memunculkan video terstimoni seakan-akan benar dari pasiennya.
Di jaman informasi yang masif otak PFC kita sering kali tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang hoax.
Terlepas apakah video itu memang sengaja dibuat-buat dalam rangka untuk menakut-nakuti atau menyindir, agama telah mengajarkan kepada kita semua bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Contoh dijelaskan di dalam Al-Quran seperti pada; QS. Al A`raaf : 31, dan QS. Al An`aam : 141.
Tetapi dari kacamata neurosains, sangat mungkin gerakan-gerakan itu terjadi. Kalau 'tiktok syndrome' Â ini kan hanya penamaan istilah saja.
Maksudnya tidak hanya tiktok. Gerakan apa saja yang berulang-ulang setiap ada stimulan/rangsangan/input informasi yang kita terima dan dilatih untuk merespon (diminta otak untuk memproses informasi tersebut secepat kilat) sesegera mungkin, akan menjadi gerakan otomatis atau gerakan refleks. Coba cek 'tourette syndrome'.
Jadi ingat waktu kita kecil sering latihan ilmu beladiri silat, karate, taekwondo, dan lain sebagainya. Jangankan gerakan memukul atau pun menendang, jatuh pun kita latih 'jatuh dengan posisi yang benar' secara berulang-ulang. Agar gerakan refleks tadi tercipta. Nanti sewaktu-waktu jatuh yang tidak sengaja, kita akan terjatuh dengan posisi yang paling aman sesuai latihan dulu yang berulang beribu-ribu kali bahkan berjuta kali.
Sinyal input informasi sensory system kita yang diloloskan oleh RAS (reticular activating system)Â dan didistribusikan oleh thalamus untuk menggerakan atau mengerjakan sinyal neuron motorik yang ada di lobus parietal, bagian atas kepala kita.
Terus menerus gerakan otot-otot melalui sinyal elektrik yang dikirim melalui  jaringan saraf dari kepala (central nervous system) ke otot organ yang dituju melalui jaringan saraf tulang belakang (peripheral nervous system) menggerakan output (simpatik) dan input (para simpatik) bekerja.
Cara kerja otak otomatis yang dulu dibilang pikiran atau alam bawah sadar, neural pathways berulang-ulang agar jalurnya tebal. Seperti tugas otak bagian basal ganglia.
Kembali kepada pembahasan gap atau perbedaan lintas generasi, pandemi menyeragamkan kita sehingga intens dalam penggunaan gadget dan teknologi internet tadi.
Jadi sebenarnya walau pandemi COVID-19 ini pastinya berdampak kepada krisis ekonomi, namun tidak sengeri seperti yang dibayangkan sebelumnya. Semua bisnis (berlaku pada semua industri) dan setiap individu (berlaku pada semua generasi) hanya memerlukan penyesuaian-penyesuaian saja.