Mohon tunggu...
Balya Nur
Balya Nur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Yang penting masih bisa nulis

yang penting menulis, menulis,menulis. balyanurmd.wordpress.com ceritamargadewa.wordpress.com bbetawi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Ferdi Sang Kodok

12 November 2019   07:17 Diperbarui: 12 November 2019   07:20 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: koleksi pribadi

Ini kisah Ferdi sang kodok. Tapi sebelumnya saya mau kasih tahu ide ceritanya. Ide ini pula yang bikin Ferdi mendadak jadi kodok. Ferdi penggemar berat novel Metamorfosis karya Franz Kafka, penulis Jerman yang super terkenal itu. Novel itu dibuka dengan kalimat yang bikin pikiran pembacanya terganggu, " Bangun tidur Gregor Samsa mendapatkan dirinya berubah menjadi seekor serangga besar yang mengerikan. " Perubahan fisik Gregor Samsa itulah yang terus bergulir sepanjang cerita. 

Entah sudah puluh kali Ferdi bolak balik membaca novel itu sampai tamat. Sebelum tidur, malam ini Ferdi kembali membaca novel itu sampai khatam. Dia ingin seperti Gregor, tapi bukan sebagai seekor serangga besar,  melainkan melainkan seekor kodok dengan ukuran normal.

Bangun tidur Ferdi mendapatkan dirinya berubah menjadi seekor kodok. Kodok dengan ukuran normal. Alangkah bahagianya Ferdi. Angan-angannya tercapai. Perihal kenapa Ferdi ngebet menjadi seekor kodok, berikut asbabul kisahnya.

Sebagai politisi Ferdi termasuk tukang nyinyir pada lawan politiknya. Dia bisa berkata apa saja yang bikin lawan politiknya mau nabok mukanya. Bagi Ferdi politik adalah semacam melamar pekerjaan menjadi orang penting. Maka dia girang alang kepalang ketika partainya menunjuk sebagai salah satu timses salah satu calon presiden pada sebuah pemllu yang curdil, curang dan adil.

Ferdi dalam kubu yang melawan petahana. Menjadi oposisi tentu saja membanggakan. Bisa mengeritik pemerintah dengan gagah perkasa. Menjadi politisi petahana lebih mirip penjilat ketimbang politisi. Mendadak Ferdi sering tampil di televisi. Medsosnya ramai dikunjungi oleh kawan maupun lawan. Ferdi bukan hanya mencaci kebijakan pemerintah, tapi juga nggak segan mencaci capres lawannnya.

Tapi apa boleh buat, namanya juag pemilu curdil. Petahana tentu saja menang. Ferdi tidak putus asa. Dalam sekejap mata dia mendadak berbelok di tikungan, berbalik arah menjadi pembela petahana dan tentu saja nyinyir habis kepada kepada pihak oposisi. Itu juga salah satu cara melamar pekerjaan menjadi orang penting. 

Saking ngebetnya dengan kekuasaan, dia mau jadi apa saja asal bisa dekat dengan istana. Ferdi sadar betul, dia tidak ikut berkeringat memenangkan presiden pemenang pemilu. Tentu saja kalau cuma membela, lebih tepatnya menjilat presiden di medsos, jalan menuju menjadi orang orang penting cukup jauh terjal dan berduri. Tidak ada rotan akar pun jadi. Kebetulan sang presiden hobi memelihara kodok. Bukan memelihara kodok di rumah dinasnya, tapi di istana. Hobi yang rada aneh memang.  Ferdi mulai menetapkan cita-cita barunya, memantapkan angan-angannya menjadi kodok peliharaan istana.

Satu  tahap angan-angannya telah tercapai. Sekarang Ferdi sudah menjadi seekor kodok. Menjadi kodok satu hal, menjadi kodok istana hal yang berbeda. Disitulah kesulitan berikutnya. Sebagai seekor kodok, jarak rumah Ferdi dengan istana tentu saja bertambah jauh. Seberapa jauh sih lompatan seekor kodok? Kalikan dengan jarak rumah Ferdi dengan istana. Kalkulator pun pusing menghitungnya.

Belum lagi kesulitan lain. Melompat-lompat di tengah ramainya lalu lintas bukan uji nyali lagi namanya, tapi bunuh diri. Tapi masih banyak jalan menuju istana. Ferdi menyelinap di mobil sayur. Siapa tahu mobil itu lewat depan istana, dia bisa nekad melompat pas lampu merah. Tapi nasib membawanya ke  sebuah pasar. Pasar tidak kurang bahaya. Entah berapa kali Ferdi hampir terinjak, tersenggol motor, tertimpa karung beras.

Ferdi sampai di pingir kolam kotor dekat lapangan. Dia bergabung dengan kodok-kodok kelas bawah. Ikut berisik berkerak kerok minta hujan. Sebagaimana penguasa hasil pemilu curdil, begitu pula sifat para kodok.
 Coba tanya sama Sang Kodok, kenapa ente kerak kerok aje?
 Jawab Sang Kodok, tanya sama hujan kenapa dia nggak mau turun?
 Coba tanya sama Sang Hujan, kenapa ente nggak mau turun?
 Jawab Sang Hujan, coba tanya sama Sang Ikan, kenapa dia nggak mau timbul? Coba tanya sama Sang Ikan, kenapa ente nggak mau timbul

Selalu menayalahkan, selalu lempar tanggung jawab. Tapi kalau  menyangkut keberhasilan, paling keras suaranya, paling keras menepuk dadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun