Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya menganut budaya patriarki, dimana peran laki-laki lebih banyak pada aspek publik, sementara perempuan pada aspek domestik. Oleh sebab itu, Indonesia didaulat sebagai fatherless country, negara tanpa keberadaan ayah secara psikologis karena minimnya peran ayah terhadap pendidikan keluarga (Kamila & Mukhlis, 2013). Akibatnya anak-anak mengalami krisis father hunger, yang kemudian berdampak hilangnya rasa berani dan rasa percaya diri dalam dirinya.
Ketiadaan peran ayah dapat berupa ketidakhadiran secara fisik maupun psikologis dalam kehidupan anak. Maka dikenal adanya "fatherless", "father absence", "father loss" atau "father hunger". Ketiadaan peran ayah secara fisik karena kematian, mengarahkan pada adanya sebutan anak yatim. Namun apabila ketidakhadirannya disebabkan karena "kepergian" dari perannya sebagai seorang ayah, maka anak tersebut dapat dikatakan "seolah-olah" menjadi yatim sebelum waktunya. Fatherless adalah ketiadaan peran dan figur ayah dalam kehidupan seorang anak. Hal ini terjadi pada anak-anak yatim atau anak-anak yang dalam kehidupan sehari harinya tidak memiliki hubungan yang dekat dengan ayahnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Smith (2011) bahwa seseorang dikatakan mendapat kondisi fatherless ketika ia tidak memiliki ayah atau tidak memiliki hubungan dengan ayahnya, disebabkan perceraian atau permasalahan pernikahan. Menurut Smith (2011), seseorang dikatakan yatim jika tidak memiliki ayah atau tidak memiliki hubungan dengan ayahnya karena perceraian atau masalah perkawinan antara orang tuanya. Dalam membesarkan anak, orang tua memainkan peran yang berbeda. Menurut Koehler dan Royer (Juni, 2009: ), "ibu berperan besar dalam pengasuhan anak, sedangkan ayah berperan dalam kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian anak" (Septiani & Nasution, 2018).50), terdapat beberapa ciri karakter, antara lain (1) peduli terhadap orang lain dan terbuka terhadap pengalaman baru, (2) konsisten bersikap mampu mengendalikan emosi, (3) sadar akan tanggung jawab sosial dan menerimanya tanpa pamrih, (4) melakukan hal yang benar meskipun tidak ada orang yang melihat, (5) memiliki kekuatan batin untuk mengupayakan keharmonisan dengan lingkungan, dan (6 ) mengembangkan sesuai per standar pribadi dan perilaku yang konsisten dengan standar tertentu adalah semua karakter.
Ketiadaan peran-peran penting ayah akan berdampak pada rendahnya harga diri (self-esteem) ketika ia dewasa, adanya perasaan marah (anger), rasa malu (shame) karena berbeda dengan anak-anak lain dan tidak dapat mengalami pengalaman kebersamaan dengan seorang ayah yang dirasakan anak-anak lainnya. Kehilangan peran ayah juga menyebabkan seorang anak akan merasakan kesepian (loneliness), kecemburuan (envy), dan kedukaan (grief), dan kehilangan (lost) yang amat sangat, yang disertai pula oleh rendahnya kontrol diri (self-control), inisiatif, keberanian mengambil resiko (risk-taking), psychology well being, serta kecenderungan memiliki neurotik, terutama pada anak perempuan. Father-absence juga menciptakan penyimpangan orientasi seksual pada anak yang dimulai dari kebingungan identitas dan peran gender yang sepatutnya ditiru oleh anak. Berhubungan dengan identitas gender, terjadi pula penurunan atau rendahnya tingkat harga diri pada anak perempuan.
- Daftar Pustaka
- Jurnal Zuriah : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini (2023). Dampak Anak yang Dibesarkan Dalam Keluarga Tanpa Sosok Ayah (Fatherless) pada Kecerdasan Moral.
- Prosiding Seminar Nasional Parenting (2013). Dampak fatherless terhadap perkembangan psikologis anak.
- Jurnal Psikologi (2017). Peran Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Bagi Perkembangan Kecerdasan Moral Anak.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI