Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Marthin Billa, Presiden Majelis Adat Dayak Nasional

30 Juni 2021   15:03 Diperbarui: 30 Juni 2021   15:45 1547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Facebook Martin Billa

Martin Billa Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN)  

Akhirnya Marthin Billa terpilih menjadi Presiden Baru MADN 2021-2026. Pak Martin akhirnya terpilih sebagai presiden Dayak dalam rapat pleno Munas ke V MDAN di Peninsula Hotel, Jakarta pada tanggal 18 hingga 20 Juni 2021. Pak Marthin adalah Presiden MADN ke 3 setelah presiden pertama  bapak Agustin Teras Narang yang merupakan mantan Gubernur Kalimantan Tengah, dan presiden MADN kedua bapak Cornelis mantan Gubernur Kalimantan Barat;

Terpilihnya Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) Marthin Billa tidak lepas dari keberlanjutan wujud tema dayak sebagai bagian selalu setia kepada NKRI, Pancasila, dengan tetap menjadi warga Negara etnisitas: satu darah dayak kuat, dayak maju, dan dayak bermartabat [human dignity]. Marthin Billa lahir 29 Maret 1954 (usia 67 tahun),  adalah anggota DPD RI 2 periode yakni 2014/2015 dan 2019/2024. Pak Martin  pernah menjabat sebagai Bupati Malinau 2 periode yakni 2001/2006 dan 2006/2011.  Selamat bertugas pak Marthin Billa sebagai Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) periode 2021-2026 semoga selalu berusaha mencari, dan memberikan yang terbaik dengan mengacu pada visi dan misi MADN. 

Secara historis dan dokrin niiai budaya Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) adalah hidup yang baik sebagai warga Negara Indonesia, dan sebagai warga komunal tetap menjaga perilaku, norma, dan etika kebaikan, dimana Nomoi atau Hukum adalah keniscayaan. Nilai-nilai yang diinternalisikan dalam semangat persaudaraan dan martabat manusia yang berbudi luhur sebagai cita-cita pertemuan martabat manusia dayak semangat perjuangan mempersatukan warga komunal dan warga Negara dengan semangat kebersamaan, atau dalam "ruang publik'

Embrio MADN  tentu dilatarbelakangi oleh suku-suku Dayak yang telah lama bertikai kemudian muncul kesadaran bersama  dikenal  "Perjanjian Damai" Tombang Anoi, tanggal 25 Juli 1894 atau Rebo Legi [12 angka], dihadiri sekitar 1.200 orang, dari 152 suku Dayak di Pulau Borneo. 

Perjanjian Tombang Anoi adalah kesepakatan "perjanjian damai" sebagai upaya mengakhiri permusuhan sesama manusia, kembali kepada keutamaan pada idea tindakan martabat luhur manusia, khususnya Agama Dayak Kaharingan saat itu, bahwa lingkaran lahir, hidup, dan mati harus memiliki "Adat". Maka kata Kunci "Adat" diwujudkan dalam hukum itulah disebut Manusia terbaik. Tanpa adat, manusia akan mengalami konflik lahir dan batin.  Itulah marwah dan spirit awal dan perspektif munculnya Majelis Adat Dayak Nasional (MADN).

Titik tolak lain adalah nota kesepakatan "Perjanjian Damai"  Tumbang Anoi.  Desa Tumbang Anoi adalah nama sebuah desa, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah disepakati beberapa point utama yakni: 4 H atau   yakni "Menghentikan" saling 'Hakayau' (memotong kepala sesama manusia), 'Hajipen' (memperbudak) menjajah manusia sebagai sarana belaka, 'Hasang' (hasarang/serbu atau pertikaian senjata antara kelompok,) dan 'Habunu' atau saling membunuh sesama manusia). Dan Negara penjajah Belanda mengakui berlakunya Hukum Adat Dayak dan memulihkan segala kedudukan, dan hak-hak suku Dayak dalam lingkup pemerintahan lokal tradisional pada waktu itu misalnya Damang, Mantir, Wadian, dan seterusnya. 

Saya menduga  mungkin semenjak itu Belanda mulai menerapkan "politik balas-budi" atau "politik etis" di Pulau Kalimantan, atau menguasai dengan menggunakan Struktur Kesadaran [semacam rasio instrumental ala Max Weber] dimasukkan tatanan untuk memudahkan Kontrol masyarakat jajahannya.

Apakah ini adalah politik Koloni Belanda, bermotif  dualitas, antar cara menghentikan kekerasan yang menakutkan penjajah, atau upaya Belanda memasukkan Orang Dayak dalam sebuah Struktur Kesadaran pada tatanan Hukum Adat? Tidak ada yang tahu persis, dan mungkin diperlukan penelitian lanjutan secara sosiologi, dan antropologi. Sekalipun  Mgr. Michael Cornelis C. Coomans, M.S.F.  uskup Samarinda pernah mempertanyakan hal yang sama dalam bukunya "Manusia Daya, Sekarang dan Masa Depan" (1999).

Terbentuknya Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) muncul dari kesadaran pada "ruang publik', dan pengalaman sejarah warga dayak dengan "martabat manusia", dalam rerangka semangat kebebasan,  kemerdekaan  dan pengakuan hak milik [life, liberty, and property]   dalam satu ikatan keutamaan yakni "Hukum Adat".  Hukum adat dan perjanjian Damai Tumbang Anoi, dan aplikasinya ini sudah ada sebelum sumpah pemuda tahun 1928, sebelum proklamasi NKRI tahun 1945.

"Hukum Adat" dan pengadilan Adat berlaku umum pada saat disebutkan Bumi Borneo, identik Bangsa Dayak [sebelum ada pembagian 5 provinsi di Kalimantan, sampai wilayah Serawak, Kucing, Malaysia. Maka seiring dengan perkembangan zaman maka ada 5 Dewan Adat Dayak (DAD) tingkat Provinsi, dan juga Kabupaten Kota di seluruh Kalimantan. Bahkan saat ini sudah  ada Perwakilan Tetap Penduduk Pribumi Suku Dayak di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)  bernama "Andrew Ambrose Atama Katama", yang dilaksanakan bersama berdasarkan penunjukan oleh Dayak International Organization (DIO). ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun