Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Haidegger dan Hermeneutika Ontologis [10]

22 Juni 2018   17:05 Diperbarui: 22 Juni 2018   17:20 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.thefamouspeople.com

Martin Heidegger, dan Hermeneutika  Ontologis (tulisan 10)

Pada tulisan (9) saya membahas konsep ["Das Man"] atau Manusia Impersonal. Atau tanpa nama atau tanpa identitas (impersonal) dan tidak otentik. Maka pada tulisan (10) ini saya akan membahas "kematian" atau [Ada] menuju kematian [sein zum tode] atau [being toward death]. Maka kata kunci pada tulisan ini adalah "[sein zum tode]". 

Dalam bahasa Jerman disebutkan (German: Sein-zum-Tode)/  Being-toward-death is not an orientation that brings Dasein closer to its end, in terms of clinical death, but is rather a way of being. Lihat pada buku ["Being and Time part 6: Death"]. The human beings, time comes to an end with our death.

Jika sebelumnya saya membahas pemikiran Heidegger bahwa [ada] dalam dunia ini adalah ["Das Man"] atau orang atau personifikasi kerterjatuhan [verfallenheit, atau fallennes] manusia lari dari kenyataannya kemudian jatuh  dan terperangkap dalam eksistensinya  yang (tak bernama) anonim dan tidak otentik. Maka pertanyannya adalah kapan manusia menjadi diri sendiri (atau disebut otentik). Jawabannya manusia ontentik ketika:  [Ada] menuju kematian [sein zum tode] atau [being toward death].

[Ada] menuju kematian [sein zum tode] atau [being toward death] sebagai peristiwa yang membayangi eksistensi manusia. Semua manusia akan mati, tidak ada yang abdi. Kematian ["tidak dapat diwakilkan"] pada siapapun.  Sekalipun atas nama negara mewakili, atau apapun definisinya maka kematian adalah [ada] menenti kita semua, satu tarik nafas sama dengan detik langka manusia menuju tanggal, jam, menit, dan detik kematian. Kematian sebagai problem besar hidup manusia yang belum bisa diselesaikan supaya tidak mati. Semua nya berubah, biji, buah, tumbuh, dewasa, tua, dan mati atau bahkan buah, dan mati, semuanya bergerak menuju kematian. Itulah pengertian  [Ada] menuju kematian [sein zum tode] atau [being toward death].

Bagi Heidegger [kematian] adalah kemungkinan eksistensi untuk menjadi manusia otentik, dan ["tidak dapat diwakilkan"] pada siapapun. Kematian adalah memampukan menjadi manusia sebagai dirinya secara solid. Menjadi ["ada"]  sendiri menjadi sendiri atau personal. Kematian menjemput eksistensi manusia. Ini artinya bagi Heidegger bahwa kematian sebagai fakta yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensinya. Menerima kematian atau peristiwa kematian artinya menerima kenyataan manusia sebagai [Ada] menuju kematian [sein zum tode] atau [being toward death].

Dengan kondisi [Ada] menuju kematian artinya membuka pintu lebar menuju eksistensi yang ["otentik"] diri yang solid. Dengan kematian maka manusia melepaskan (putusnya) semua ikatan dan keterikatan dalam social masyarakat, tradisi, kebudayaan, membeli, menjual,mandi, makan, tidur, memakai hape, memakai motor, memakai mobil, memakai tas hermes, tas prada, jabatan menteri, rector, dekan, gubernur. Artinya kematian adalah panggilan, untuk melepaskan kontrol kuasa orang lain ("Das Man"), atau berpisahnya control hukum, adat, tradisi masyarakat, atau kematian adalah menjadi manusia otentik yang dangkal, atau muatan eksistensinya di isi oleh diri sendiri.

Maka perilaku manusia bunuh diri di Indonesia adalah gambaran kegagagalan manusia dalam kontrol kuasa orang lain ("Das Man"), dan ingin buru-buru mati supaya bisa melepaskan (putusnya) semua ikatan dan keterikatan dalam social masyarakat, hukum, kewajiban dan tradisi yang tidak mampu dia atasi, dan pahami.

Kematian adalah panggilan jiwa yang tidak berasal dari kuasa dari  luar atau orang lain, melainkan panggilan dari dalam diri sendiri, dan keprihatinan manusia, sebagai tahap manusia yang otentik. Pada akhirnya manusia tidak dapat melepaskan diri dari ketiadaan, karena ketiadaan selalu hadir di tengah-tengah [Ada]  dan manusia. Ditengah-tengah [Ada] manusia hanyalah menuda ketiadan, menunda kemungkinan untuk menjadi tidak ada. Adapun puncak ketiadaan ekistensi adalah kematian.

###bersambung

###bersambung

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun