Mohon tunggu...
Bakrie Ahmad Faada
Bakrie Ahmad Faada Mohon Tunggu... Ilmuwan - Yakusa

Pemikir bebas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Merumuskan Kembali Pemikiran Islam dan Gerakan Politik Nasional

25 Januari 2020   20:33 Diperbarui: 25 Januari 2020   20:36 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pergolakan perpolitikan Indonesia terasa begitu besar seiring dengan perjalanan politik dan peristiwa-peristiwa politik yang terjadi. Masih segar diingatan kita peristiwa Pilkada DKI Tahun 2017 yang mempertarungkan antara pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada saat itu yakni Anies Rasyid Baswedan -- Sandiaga Salahuddin Uno dengan Basuki Thajaja Purnama -- Djarot Syaeful Hidayat. Ekskalasi politik di Ibu Kota selalu menjadi yang terbesar diantara Pemilu-pemilu di daerah lain. Hal ini tak terlepas dari status Jakarta sebagai Pusat Pemerintahan sekaligus pusat bisnis di Indonesia, selain itu sosok yang terpilih pada pilkada DKI sering kuat digadang-gadangkan dengan pencalonan Presiden.

Sakin tingginya tensi politik pada saat itu, mentrigger sebuah gerakan sosial yang sangat besar ekskalasinya. Pelatuk tertarik ketika statement Basuka Tjahaja Purnama di Kepulauan Seribu yang pada saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, dianggap melecehkan kitab suci umat Islam. Gerakan sosial tersebut adalah Aksi 411 dan Aksi 212.

Kita perlu menganilisis apakah itu betul-betul gerakan sosial atau bukan. Maka dari itu, disini penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Charles Tilly. Charles Tilly dan murid-muridnya merumuskan unsur utama gerakan sosial, yakni keberadaan wirausahawan politik (political entrepreneur) yang punya wibawa kuat menawarkan gagasan dan memikat masyarakat; mobilisasi sumber daya mobilisasi sumber daya yang dapat menggerakkan masyarakat dari berbagai sumber (daerah, ormas, dan ikatan primordial); bingkai (frame) yang membuat perhatian terfokus pada satu sasaran saja; dan posisi politis di mana gerakan sosial menempati irisan tipis antara negara dan masyarakat.

Berdasarkan hasil analisis pada jurnal dengan judul "Gerakan Politik Islam Indonesia Pasca Aksi Bela Islam Jilid I,II, dan III dikemukakan bahwa dalam hal ini elit Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) merupakan political entrepreneur yang memiliki kharisma atau pengaruh dalam menggerakan massa. Sementara mobilisasi masyarakat dilakukan oleh ormas Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai ormas Islam lainnya yang berpandangan politik sama. Sehingga gerakan tersebut dapat dikategorikan sebagai gerakan sosial.

Namun, gerakan politik yang dimotori GNPF MUI tersebut terasa kurang mampu dimanfaatkan momentumnya terutama bagi partai-partai Islam untuk menggalang kekuatan politik. Seharusnya momentum tersebut dimanfaatkan betul oleh partai-partai Islam untuk menggalang kembali persatuan dan kesatuan politik sehingga mampu betul-betul merepresentasikan hajat politik umat Islam di Indonesia.

Partai politik Islam akhirnya tetap terfragmentasi sehingga bisa kita lihat pada Pemilu Serentak 2019 seolah mempertontonkan pertarungan politik antara kelompok Islam modernis yang di representasikan oleh pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno dengan kelompok Islam konservatif yang direpresentasikan oleh pasangan Joko Widodo dan KH. Ma'ruf Amin.

Sebetulnya, terfragmentasinya gerakan politik kelompok Islam di masing-masing pasangan calon tidak buruk juga. Karena ketika salah satu kandidat terpilih, maka keduanya sama-sama merepresentasikan kelompok Islam. Namun, hajal politik umat Islam akan lebihi di representasikan dengan persatuan gerakan politik umat Islam.

Maka dari itu, menurut hemat penulis, gerakan tersebut harus dikembangkan lagi dan dibuat lebih tersistematis, terorganisir, dan lebih terarah. Perjuangan politik tersebut juga harus disokong oleh kekuatan ekonomi, dalam hal ini kaum menengah ke atas Islam harus terakomodir kepentingannya. Sehingga gerakan politik umat Islam tidak dimanfaatkan oleh oligarki. Dengan begitulah marwah politik Islam akan kembali berjaya dan tidak lagi menjadi sebuah gerakan politik ynag termarjinalkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun