Mohon tunggu...
Mikchel Naibaho
Mikchel Naibaho Mohon Tunggu... Novelis - Pembaca. Penjelajah. Penulis

Pegawai Negeri yang Ingin Jadi Aktivis Sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Energi Dari Melatih Hati

13 Agustus 2018   21:04 Diperbarui: 14 Agustus 2018   08:07 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : flickr.com

Rumahnya tak jauh dari kompleks tempat tinggalku. Namun, keengganan orang kompleks bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, membuatku terlambat untuk mengenalnya. Mungkin beberapa kali kami sudah berpapasan, tetapi tak pernah kuperhatikan.

Namanya Syukur. Usianya sekitar 30-an, berbadan kurus dan dia memiliki tangan kanan hanya sepanjang siku. Setiap kali melihatnya mengayuh becak barang miliknya, ia selalu tersenyum. Bahkan ketika becaknya harus melintasi jalan menanjak, yang membuat ia membungkuk memusatkan tenaga pada kedua kakinya, wajahnya mengeras tanpa ekspresi mengeluh meski dibasahi keringat yang mengucur deras. Tak terlihat penyesalan terhadap masa lalu atau kemarahan terhadap hidup di garis wajahnya.

Pertama kali melihatnya, aku tak memperhatikan tangannya. Waktu itu kupikir ia mengendarai becaknya dengan satu tangan, dan tangan lain memegang rokok -- gaya santai, seperti kebanyakan tukang becak yang kuperhatikan di daerah kota. Namun, beberapa hari kemudian, kulihat ia mengangkat galon air isi ulang dengan satu tangan. Tingkahnya menarik perhatianku, lalu kuperhatikan dia secara saksama. Ternyata sebelah tangannya tumbuh sampai siku.

Aku terkejut. Kagum. Lalu mengernyitkan dahi. Seolah tak percaya pada apa yang baru saja kusaksikan. Saat itu, kuputuskan untuk mengamati gerak-geriknya dari kejauhan : ia dengan cekatan mengangkat galon air isi ulang meski dengan satu tangan. Ia dengan lihai membetulkan letak berbagai macam barang di becak dayungnya. Terbiasa membuatnya berhasil mengelabui kekurangan.

Beberapa hari kemudian, aku bertanya kepada seorang teman yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Ia mengaku tak tahu pasti mengapa tangan beliau demikian adanya, yang ia tahu, lelaki itu telah mempunyai tiga anak, dan bekerja sebagai wiraswasta. Usahanya menjual air isi ulang dan membuka pertamini -- bensin eceran.

Spontan, lahir keinginan untuk mengisi bahan bakar sepeda motor di pertamini miliknya. Keinginan itu terwujud. Ketika sepeda motorku berhenti di depan rumahnya, ia keluar dengan senyuman dari dalam kiosnya. Seperti biasa, percakapan khas penjual dan pembeli terjadi. Yang tak biasa, di dalam tubuhku ada rasa yang berkecamuk. Sempat aku salah tingkah melihat keadaannya. Bibirku beberapa saat tertutup rapat. Namun, ia tetap tenang. Bagaimana ia bisa menjalani hidup ini dengan tabah?

Kekaguman juga lahir untuk keluarganya. Terlihat mereka saling mendukung. Pernah di suatu hari yang lain, aku melihat ia mengayuh becak barang yang seluruh penumpangnya adalah istri dan ketiga anaknya. Aku terharu menyaksikan pemandangan itu. Dan ketiga anaknya kuperhatikan. Syukurlah, ketiganya memiliki anggota tubuh yang normal.

Bagaimana dengan hidupku? Keluhan kerap menguasai hatiku bila raga ini diserang flu, kepala pusing, atau gigi sakit tak tertahankan. Padahal sakit itu hanya sementara. Dia? Sepanjang hidupnya melewati hari tanpa sebelah tangan.

Aku selalu merasa kalah darinya setiap kali kutemukan hati ini mengeluh. Energinya begitu besar bisa menanggung beban sedemikian berat. Dan bila bayang keadaannya yang terbatas beraktivitas melintas di pelupuk mataku, aku langsung menegakkan kepala dan membuang jauh keluhan -- meskipun keluh datang lagi dengan alasan berbeda.

Hidupnya menginspirasiku untuk tetap berjuang tanpa pernah menyerah pada keadaan. Aku dan dia memang hidup dalam lintasan nasib yang berbeda, tetapi semangatnya dapat kuterapkan dalam perjalanan hidupku. Di kepalaku, gerak perjuangannya melintasi waktu, telah terekam. Di hatiku, semangatnya terukir.

Butuh waktu yang lama memang bagiku untuk menyiapkan hati yang selalu bersyukur. Setiap kali akan mengisi bahan bakar sepeda motor, kusengaja mengisi di tempat usahanya. Awalnya alasanku untuk membantu perekonomiannya, tetapi lama-lama kusadari, aku juga membutuhkannya untuk menguatkan hatiku menghadapi keluh. Sehingga setiap kali keluh datang, aku langsung bisa mengusirnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun