Sejak bertemu dengannya sekitar setahun yang lalu, aku tahu kalau ada yang berbeda dari Rio. Walau berpenampilan sederhana, dia berhasil membuatku tenggelam dalam misteri dirinya. Mungkin bukan hanya aku, tetapi juga ribuan orang di kampus ini. Bukan karena sensasi murahan seperti yang banyak dilakukan para artis yang sudah tak laku lagi, tetapi karena pemikiran dan tindakannya yang tak lazim ditemui di zaman ini.
Seperti ketika mendapat bantuan dana dari kampus berupa beasiswa, Rio dengan tegas menolaknya. Tetapi karena alasan administrasi, dia akhirnya menerima. Rio mengalah karena terlanjur tertera namanya sebagai penerima. Namun seluruh kampus gempar dibuatnya, ketika tersiar kabar bahwa dia menghabiskan semua uang itu dengan anak jalanan untuk makan bersama.
Tindakannya itu membuat Rio dihujat. Ada yang mengatakan dia tak tahu bersyukur, ada yang mengatakan dia terlalu naif, bahkan ada yang mengatakan dia orang terbodoh di dunia ini. "Kau bodoh, Rio. Uang itu bisa mempermudah kau meraih cita-cita" cetus seseorang yang melihat Rio bersama anak-anak berwajah lusuh dan berpakaian compang-camping itu.
Namun berbeda dengan anak-anak dari pers mahasiswa. Mereka memburu Rio untuk menjadi narasumber. Mereka tahu, jika Rio sebagai tokoh utama pemberitaan, penjualan majalah universitas pasti laku keras.
Tetapi Rio menolak diwawancarai.
Layaknya wartawan profesional, pers mahasiswa tidak tinggal diam. Mereka mencari cara untuk mendapat alasan atas apa yang dilakukan Rio. Akhirnya mereka mencoba mewawancarai teman baiknya : aku.
"Apa yang dilakukan Rio tidak biasa, atau mungkin belum pernah terjadi. Anda tahu alasan di balik itu semua?" dengan mengarahkan alat perekam ke mulutku, wartawan bertanya dengan ekspresi rasa ingin tahu yang besar.
"Aku tidak tahu. Kalau dia menolak diwawancarai, pasti dia sudah tahu itu yang terbaik. Jadi aku tak ingin merusak apa yang dianggapnya telah baik," aku tersenyum tipis, sedikit merasa tak enak karena menolak. Apalagi yang mewawancarai adalah seorang perempuan cantik yang terlihat sangat berharap mendapat jawab.
"Tapi ini penting untuk kita dan Rio. Yang dilakukannya bisa menginpirasi banyak orang," desaknya.
Aku berpikir sejenak. Puluhan pertimbangan lahir di otak. Entah tergoda atau ingin terkenal mendadak, aku memberi jawaban. "Dia pernah mengatakan masih sanggup membayar uang kuliah, ketika aku mengajaknya mendaftar untuk mendapatkan beasiswa dari salah satu perusahaan rokok. Mungkin saat ini dia masih juga merasa sanggup tanpa beasiswa."
"Apa ada kemungkinan, dia menolak karena yang  memberi adalah perusahaan rokok?"