Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan tinggi, pencapaian akreditasi unggul bukan hanya menjadi kebanggaan, tetapi juga representasi nyata dari mutu institusi. Akreditasi kini bukan lagi sekadar status administratif, melainkan indikator kualitas tata kelola, proses pembelajaran, dan kinerja tridharma perguruan tinggi. Dengan diberlakukannya Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, perguruan tinggi ditantang untuk tidak hanya memenuhi standar minimum, tapi juga melampauinya secara berkelanjutan.
Di sinilah pentingnya benchmarking sebagai alat strategis. Tidak cukup hanya bekerja “secara internal”, perguruan tinggi perlu melihat keluar, belajar dari yang terbaik, dan menyesuaikan praktik-praktik unggul dengan konteks institusi masing-masing.
Proses benchmarking yang terintegrasi dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) membantu mengidentifikasi celah mutu, sekaligus membuka peluang inovasi untuk mencapai predikat akreditasi unggul secara sistematis dan terarah.
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Benchmarking Internal
Benchmarking internal adalah proses membandingkan antarunit dalam institusi yang sama, baik antarfakultas, program studi, maupun unit pendukung. Meskipun dilakukan secara lokal, jika dikelola dengan cermat, proses ini dapat menjadi fondasi kuat untuk mendorong pencapaian mutu di seluruh elemen kampus.
Dari benchmarking internal, institusi dapat mengidentifikasi unit-unit yang sudah menerapkan praktik terbaik dan mendiseminasikannya ke unit lain sebagai referensi atau standar baru.
Dalam konteks akreditasi, benchmarking internal sangat membantu dalam membangun budaya mutu yang merata. Lembaga akreditasi menilai tidak hanya satu bagian, tetapi keseluruhan sistem. Oleh karena itu, keseragaman mutu antarunit sangat penting. Benchmarking cerdas mendorong perguruan tinggi untuk menetapkan standar internal yang melebihi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti), yang menjadi salah satu syarat untuk meraih status akreditasi unggul.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Blueprint Masa Depan Kampus yang Sering Diabaikan
SPMI dan PPEPP: Strategi Mutu
Benchmarking akan berdampak besar bila dijalankan dalam kerangka SPMI yang kokoh. Sesuai dengan amanat Pasal 66 dan 67 Permendikbudristek 53 Tahun 2023, perguruan tinggi wajib mengembangkan dan menerapkan SPMI sebagai sistem mutu internal yang terstandar, akurat, dan berkelanjutan. SPMI bukan sekadar prosedur pelaporan, melainkan ekosistem mutu yang mendorong institusi untuk terus belajar, beradaptasi, dan meningkat.
Di dalam SPMI, terdapat siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—yang menjadi tulang punggung perbaikan berkelanjutan (kaizen).
Data dari benchmarking internal maupun eksternal dapat diintegrasikan ke dalam tahap evaluasi dan pengendalian, lalu diolah menjadi kebijakan dan standar baru di tahap peningkatan. Ini menjadikan SPMI tidak hanya sebagai alat kendali mutu, tetapi juga penggerak utama menuju akreditasi unggul.
Akreditasi: Hasil dari Proses yang Konsisten
Akreditasi unggul bukan sesuatu yang dicapai dalam satu malam. Ia merupakan hasil dari akumulasi proses mutu yang konsisten, transparan, dan terdokumentasi dengan baik.
Benchmarking membantu memotret posisi kampus saat ini dan menunjukkan arah strategis ke depan. Ia membantu institusi menyadari di mana mereka kuat, dan di mana mereka perlu berbenah—semua dengan dasar data yang obyektif.
Ketika data dari benchmarking digunakan untuk memperkuat pengambilan keputusan, sistem akreditasi akan menilai ini sebagai bukti nyata pengelolaan mutu yang terukur. Mulai dari pelaporan PD Dikti yang valid, evaluasi standar pembelajaran, hingga keberlanjutan program MBKM—semuanya bisa dioptimalkan dengan benchmarking sebagai fondasi. Lembaga akreditasi pun lebih mudah memberi pengakuan unggul, karena melihat komitmen kampus terhadap mutu yang terstruktur dan berbasis praktik nyata.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!