Setiap 17 Agustus, merah putih dikibarkan tinggi, lagu Indonesia Raya menggema di seluruh penjuru negeri, dan jargon kemerdekaan bersahut-sahutan dari media hingga ruang kelas. Tapi, di balik gegap gempita perayaan tersebut, sebuah pertanyaan besar masih menggantung di udara: apakah bangsa ini sudah benar-benar Pancasilais?
Secara de jure, Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945. Namun, ketika kita melihat kenyataan sosial hari ini ketimpangan ekonomi, korupsi merajalela, intoleransi meningkat, serta krisis etika di ruang publik maka terasa bahwa kemerdekaan itu belum sepenuhnya dibingkai oleh nilai-nilai luhur Pancasila. Kita mungkin sudah merdeka dari penjajah, tapi belum tentu merdeka dari egoisme, ketamakan, dan krisis moral yang menggerogoti sendi bangsa.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab? Masih Sebatas Teks
Sila kedua Pancasila mengajarkan kita untuk menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab. Tapi realitanya, masih banyak warga yang diperlakukan tidak adil karena status sosial, ekonomi, hingga keyakinan. Masih sering kita temukan kasus warga miskin yang dipersulit mengakses pelayanan publik, atau minoritas yang hak-haknya terabaikan.
Kemanusiaan bukan hanya soal empati, tapi juga sistem sosial yang melindungi martabat setiap warga negara. Dan dalam hal ini, kita masih jauh dari cita-cita Pancasila.
Persatuan Indonesia: Retorika atau Realita?
Sila ketiga mengamanatkan persatuan Indonesia, namun hari ini bangsa kita masih sering terbelah oleh sentimen suku, agama, dan politik. Polarisasi makin tajam di media sosial, bahkan hingga ke tingkat akar rumput. Persatuan seringkali hanya terasa ketika ada bencana atau saat merayakan kemenangan olahraga nasional. Selebihnya, kita sibuk menyalahkan satu sama lain.
Padahal, esensi Pancasila bukan hanya tentang hidup berdampingan, tapi juga saling menghormati dan menyatukan perbedaan sebagai kekuatan bangsa. Jika kita tidak bisa berbeda tanpa bermusuhan, maka kita belum benar-benar Pancasilais.
Keadilan Sosial: Kenapa Masih Jadi Mimpi?
Sila kelima berbunyi: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Tapi apakah keadilan itu sudah merata? Lihat saja jurang antara si kaya dan si miskin yang makin lebar, penguasaan tanah dan sumber daya oleh segelintir orang, hingga praktik hukum yang masih tebang pilih.