Mohon tunggu...
Bagas Romadhona Sukma
Bagas Romadhona Sukma Mohon Tunggu... Mahasiswa Program Studi S2 Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)

Mahasiswa Program Studi S2 Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ruang Komersial dan Dinamika Sosial : Potret Akulturasi di Kawasan Pasar Ketanggungan Brebes

24 September 2025   11:30 Diperbarui: 28 September 2025   15:19 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 Kompleksitas dan Permasalahan Ruang 

Kawasan Pasar Ketanggungan di Kabupaten Brebes saat ini menghadapi sejumlah tantangan dalam pengelolaan ruang. Pertama, ketidakteraturan ruang komersial akibat pertumbuhan pedagang kaki lima (PKL) yang memanfaatkan badan jalan dan ruang terbuka di sekitar pasar. Kondisi ini sering menimbulkan kemacetan lalu lintas, apalagi lokasinya berdekatan dengan simpul transportasi penting yaitu Stasiun Kereta Api Ketanggungan.

Kedua, terdapat persaingan ruang antara pasar tradisional, PKL, dan fasilitas modern seperti Yogya Mall maupun minimarket. Situasi ini menimbulkan dinamika baru: masyarakat tetap setia pada pasar tradisional, namun gaya belanja modern kian mendapat tempat.

Ketiga, kawasan pasar adalah ruang multikultural, dihuni oleh pedagang Jawa, Sunda, dan Arab. Akulturasi ini memang memperkaya identitas lokal, tetapi juga menimbulkan kebutuhan tata kelola ruang yang lebih adaptif terhadap keragaman sosial budaya.

Keempat, terdapat tantangan kebijakan tata ruang. Pemerintah daerah berupaya menata pasar agar lebih tertib, sementara masyarakat justru terus berinovasi memanfaatkan ruang publik sesuai kebutuhan. Terjadi tarik menarik antara regulasi formal dan praktik sehari-hari.

Permasalahan-permasalahan ini menunjukkan bahwa Kawasan Pasar Ketanggungan bukan sekadar tempat jual beli, melainkan ruang publik yang terus dinegosiasikan. Di sinilah letak pentingnya penelitian lebih lanjut mengenai ruang komersial, pola pemanfaatannya, dan tipologi yang terbentuk.

Akulturasi Budaya Sunda dan Jawa yang Hidup 

Ketanggungan merupakan wilayah peralihan antara budaya Sunda dan Jawa. Suasana sekitar pasar mencerminkan akulturasi itu. Dari cara pedagang menawarkan barang, logat bahasa, hingga jenis jualan yang dijajakan, semuanya menunjukkan perpaduan unik. Sebagian pedagang dan pembeli memakai bahasa Sunda, sebagian lagi menggunakan bahasa Jawa, bahkan sering tercipta komunikasi campuran yang cair dan akrab. Lebih dari sekadar jual beli, interaksi ini adalah wujud penerimaan dan pembauran budaya, di mana masyarakat tidak sekadar berdampingan, tetapi saling mengadopsi tradisi satu sama lain. 

Jejak Pedagang Arab

 Identitas Pasar Ketanggungan semakin berlapis dengan hadirnya pedagang keturunan Arab. Banyak toko permanen di sekitar pasar dikelola oleh mereka, khususnya di sektor grosir, tekstil, dan kebutuhan rumah tangga. Tradisi niaga mereka yang kuat sejak lama menambah karakter pasar: bukan hanya Sunda- Jawa, tapi juga Arab, sehingga kawasan ini menjadi ruang multikultural yang khas.

Tradisi, Modernitas, dan Religiusitas

Tradisi tercermin dari eksistensi pasar tradisional dan PKL yang menempati badan jalan, trotoar, hingga ruang-ruang sela di sekitar pasar. Mereka memanfaatkan ruang secara fleksibel, membentuk pola keruangan yang cair dan adaptif. Aktivitas tawar-menawar, kios kecil, hingga lapak darurat menjadi bukti bahwa tradisi berbelanja masyarakat tetap bertahan meski menghadapi arus perubahan.

Modernitas hadir melalui keberadaan Yogya Mall, minimarket modern, perbankan, dan stasiun kereta api. Bangunan-bangunan permanen ini menghadirkan tatanan ruang yang lebih teratur, formal, dan berorientasi pada kenyamanan serta efisiensi. Ruang modern menuntut keteraturan sirkulasi, area parkir, dan desain bangunan yang berbeda jauh dari keramaian pasar tradisional.

Religiusitas berwujud nyata dalam kehadiran Masjid Badawi yang berdiri di sekitar kawasan pasar. Masjid ini bukan sekadar ruang ibadah, tetapi juga ruang pertemuan sosial yang mempertemukan pedagang Sunda, Jawa, maupun Arab. Kehadirannya memberi lapisan makna spiritual pada ruang publik, menciptakan keseimbangan antara kepentingan duniawi (perdagangan) dengan kebutuhan ukhrawi (ibadah).

Ruang Publik yang Dinamis

Kawasan Pasar Ketanggungan merupakan ruang publik yang memiliki dinamika tinggi dan diisi oleh beragam aktivitas masyarakat. Pedagang kaki lima (PKL) hadir sebagai bagian integral dari ekosistem pasar, bukan sekadar pelengkap, melainkan representasi dari ekonomi kerakyatan yang bersifat fleksibel dan adaptif.

Pemanfaatan ruang oleh PKL menunjukkan karakter yang cair. Barang dagangan ditata dengan berbagai cara: menggunakan meja lipat, gerobak dorong, tikar plastik yang digelar di trotoar, hingga kardus bekas yang ditumpuk di badan jalan. Beberapa pedagang bahkan memanfaatkan elemen fisik di sekitar pasar, seperti pagar, tembok bangunan, atau pohon, sebagai media untuk menggantung dan memajang produk dagangan. Praktik ini memperlihatkan bagaimana keterbatasan ruang tidak menjadi hambatan, melainkan justru mendorong kreativitas dalam pengelolaan ruang publik.

Namun, pemanfaatan ruang yang adaptif tersebut sering kali dipersepsikan sebagai penyebab kemacetan lalu lintas maupun ketidaktertiban tata ruang kawasan pasar. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan perspektif antara pemerintah daerah yang berupaya menata ruang publik secara lebih tertib dan formal, dengan masyarakat yang menggunakan ruang berdasarkan kebutuhan praktis dan tradisi yang sudah berlangsung lama.

Fenomena ini menegaskan bahwa ruang publik di Pasar Ketanggungan tidak pernah bersifat statis atau kosong. Ruang tersebut terus dinegosiasikan, diperebutkan, dan dihidupkan oleh berbagai aktor sosial. Dengan demikian, ruang publik di kawasan pasar dapat dipahami sebagai arena budaya, tempat berlangsungnya interaksi sosial, praktik ekonomi rakyat, serta ekspresi kreativitas masyarakat dalam memanfaatkan ruang kota.

 Miniatur Akulturasi Brebes

Pasar Ketanggungan merepresentasikan akulturasi budaya di Kabupaten Brebes. Interaksi sehari-hari antara pedagang dan pembeli mencerminkan pertemuan budaya Sunda dan Jawa, baik melalui penggunaan bahasa, jenis dagangan, maupun pola komunikasi yang cair.

Lapisan multikultural semakin kuat dengan hadirnya pedagang keturunan Arab yang mengelola toko grosir dan tekstil, menambah dimensi historis sekaligus memperkaya karakter kawasan.

Dengan demikian, Pasar Ketanggungan dapat dipahami sebagai miniatur akulturasi Brebes, di mana tradisi Sunda, Jawa, dan Arab berpadu dalam ruang komersial dan aktivitas sosial, membentuk identitas kawasan yang dinamis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun