Mohon tunggu...
ayub badrin
ayub badrin Mohon Tunggu... Penulis - Ayub Badrin seorang jurnalis

Selain menggeluti dunia Teater saya juga aktif di media masa lokal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Monolog Suharti, Idris Pasaribu Masih Energik

10 Agustus 2020   11:48 Diperbarui: 10 Agustus 2020   12:43 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Idris Pasaribu

Begitu panggung dimulai,  terdengar musik Tuizt. Kemudian seorang lelaki tua berambut putih masuk sambil menari.  Tari rock and roll dengan musik Twist. Lincah dan masih sangat energik.  Namun sejurus kemudian pinggangnya ngilu,  kakinya langsung berdenyut.  Tetapi lelaki itu terus saja berusaha berjoget.Semenit kemudian musik pun usai.  Lelaki berkostum celana jeans,  t shert dengan tulisan studio kosambi dan kemeja putih itu pun mulai berkisah tentang seorang perempuan 55 tahun yang lalu bernana Suharti.

"Ini kisah 55 tahun yang lalu.  Tentang seorang perempuan bernama Suharti.  Bukan Suharto. Walau kedua-duanya memiliki  senyum yang manis. "

Begitulah kata lelaki itu dalam dialog pembukaannya. Kata-kata itu disebutkan dengan tekanan yang ambiguitas.  Sepertinya penonton ingin dibertahu bahwa ada korelasi antara Suharto dan Suharti,  walaupun penonton disuruh memaknainya sendiri.

Lelaki ini bernama Udin.  Cerita dibangun semasa mereka masih sekolah SMA.  Udin menyukai Suharti.  Dia menyatakan cintanya dengan menyelipkan surat di buku yang pura-pura dia pinjam. Namun cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.  Suharti dengan malu-malu menerima cinta Udin. Seorang siswa yang pintar dan juara kelas.

Monolog ini semacam flasback. Udin yang kini sudah tua,  bercerita tentang kisah cintanya dengan Suharti.  Namun cinta itu harus kandas lantaran pecah peristiwa G30S PKI.  Suharti tiba-tiba menghilang. Diceritakan sang tokoh Udin,  Suharti adalah anak Ketua Soksi di tahun 1965.


Kemudian mereka terpisah.  Udin sempat mencari-cari kekasihnya itu,  namun tak jumpa.  Iapun kemudian kawin dengan perempuan lain.  Namun suatu hari yang tak disangka-sangka, saat Udin duduk di satu taman di seonggok batu,  seorang perempuan mendatanginya.  Perempuan itu buta sebelah, seperti matanya pernah dicongkel dan kakinya pengkor lantaran dipatahkan.

Pertemuan itu dibangun sedemikian mengharukan oleh Idris Pasaribu yang juga merangkap sebagai sutradara sekaligus mengakhiri monolog yang berdurasi 30 menit itu.

Adegan yang juga memberikan kenangan buruk pada masa suram seperti itu adalah saat Udin mengenalkan Suharti pada ayahnya.  Suharti harus menelan pil pahit bahwa dirinya tidak bisa diterima sebagai calon menantu lantaran dituding sebagai anak seorang yang terlibat gerakan melawan pemerintah.

Enak Ditonton Namun Nanggung

Monolog yang dimainkan Idris Pasaribu ini enak ditonton. Idris piawai dalam mengungkap narasi demi narasi.  Namun sayangnya masih terasa nanggung.  Alhasil,  joke-joke yang dibangunnya tidak berhasil membuat penonton tertawa.  Coba seandainya Idris sadar ruang sedikit saja dan mengajak penonton untuk terlibat dalam pementasan itu mungkin jadinya akan lain.

Selain itu Idris sepertinya juga tidak membangun karakter tokoh Udin dalam monolog tersebut.  Sebagai penonton saya masih melihat Idris Pasaribu.  Namun tak ada bocoran apakah tokoh Udin dalam monolog yang dimainkan di Studio Kosambi itu adalah dirinya sendiri.

Nyaris tak terbaca sebuah monolog dengan setting waktu tahun 65 an.  Idris hanya menggambarkannya lewat musik twist yang memang lagi hits di tahun itu dan rekaman suara orang menyebut-nyebut PKI melalui sound. Bahkan kostum pun mencelakai monolog tersebut. Bagaimana korelasi sebuah kaos bertuliskan "Studio Kosambi" dengan pertunjukan itu? Juga dengan institusi pekerja di studio yang terletak di Jalan Palembang Binjai yang juga memakai kaos yang sama?

Kita nyaris terjerumus kepada pembacaan yang absurditas.  Maka Tsi Taura membacanya dengan menyebut apa yang dilakukan Idris Pasaribu dengan penjungkirbalikan realisme. Kurang tepat dengan situasi budaya, sosial dan pendidikan. Pertunjukan realis tapi mengabaikan realitas yang ada.

Realitas seperti apa yang coba dibaca oleh Tsi Taura yang sekaligus sebagai pihak penyelenggara pentas monolog tersebut? Sebuah realitas mungkin adalah kenyataan dimana antara realitas di atas panggung tidak sama dengan realitas peristiwa.  Artinya Idris Pasaribu bermain pada wilayah yang mungkin tidak realistis saat dibenturkan pada realitas yang ada di panggung.  

Tetapi realitas bahwa hidup adalah panggung itu berada pada titik penyadaran diri.  Kenyataan bahwa hidup adalah sandiwara itu sendiri. Suharti telah menjadi masa lalu yang menyakitkan di negeri ini adalah sebuah realitas namun sekaligus merupakan absurditas.  Sebab antara realitas Suharti dan Suharto itu menjadi kabur.


dokpri
dokpri
Monolog Suharti

Mungkin realitas yang juga kabur adalah setting yang dibebaskan dengan beberapa buah level dan sebuah mirip meja.  Tetapi terkadang juga menjadi kursi. Kita nyaris tidak mampu membaca peristiwa itu terjadi pada masa silam.  Masa kegelapan negeri ini. Masa-masa absurditas itu. Gelap dan kejam.  Realitas itu digambarkan dengan tarian twist yang gembira ria. Kita seperti diajak untuk bersenang senang namun ternyata Idris ingin mengambarkan sebuah kekejaman yang sungguh tragis.Porman Wilson juga menangkap sebuah peristiwa panggung yang energik dari tubuh aktor gaek.  Stamina yang masih dapat diandalkan dari aktor yang berusia 60 an itu. Dan adegan terakhir yang menggugah. Selebihnya aktor tidak dapat terbaca sebagai sebuah teks-teks yang mempunyai korelasi pada tubuh tokoh-tokoh dalam monolog Sabtu (8/8) itu.

Namun begitu Studio Kosambi patut diacungi dua jempol.  Dalam dua kali pertunjukan kita melihat realitas kesenian yang mulai dibangun.  Misalnya lighting yang sudah memadai.  Korelasi korelasi ini menjadi energi positip,  dalam kesenian yang terbentuk di tengah masa pandemi ini.

Energi berkesenian yang dibangun Kosambi menjadi tenaga baru.  Sejarah akan mencatat,  betapa pentingnya sebuah panggung kesenian itu.  Yang sejak zaman  Walikota AS Rangkuti hingga Plt Ahkyar Nasution masyarakat seni di Sumatera Utara atau Medan,  belum pernah merasakan bagaimana mempunyai gedung pertunjukan yang representatif itu.

Tetapi era terus bergulir.  Sumut tertinggal jauh dengan kora-kota lain.  Bahkan kota kecil sekelas Mataram Lombok Barat saja sudah mempunyai gedung yang nyaman.  Dengan peralatan panggung yang sangat memadai walau tak bisa dikatakan canggih.

Di kota-kota besar lainnya seperti Jogya, kantong-kantong kebudayaan itu justru tumbuh subur.  Kantong-kantong itu seperti malakukan perlawanan terhadap kemapanan panggung.  Atau melahirkan keanehan dalam melakukan hubungan-hubungan intim antara objek dan subjek yang menjadi realitas lain dalam sebuah peristiwa teater.

Sedekat apa rupanya yang harus kita lakukan dalam upaya membangun hubungan antar relasi di dalam tubuh kita sebagai mahkluk budaya?  Suami istri Dini Usman dan Roy Julian misalnya.  Mereka menciptakan ruang kebudayaan di rumah yang mereka namakan "Home Theatre". Waktu itu mereka mementaskan "Nyanyian Angsa" Anton P Chekov. Lahirlah sebuah ruang tamu di rumah mereka menjadi panggung yang kemudian membangun korelasi kebudayaan antar relasi yang sangat intim.

Studio Kosambi mungkin saja lahir dari keterbatasan kita untuk saling berjumpa dan mencium bau parfum yang kita semprotkan di ketiak kita barangkali.  Boleh jadi dia lahir karena kegelisahan kita yang terbatasi oleh mewabahnya virus Corona. Lalu hanya mampu menghadirkan 10 orang penonton di panggung off line dan melepasnya di panggung on line dalam siaran langsung di akun facebook Studio Kosambi.

Ini semacam kepedulian juga dari kebaikan hati seorang seperti Tsi Taura.  Beliau membuka kesempatan untuk geliat,  gerak,  rentak dan menampung kegelisahan seniman untuk berkarya yang mungkin dalam ruang yang lebih lebar tak terwakilkan oleh kejamnya kekuasaan.

Bahkan Tsi Taura berani mengapresiasi setiap pekarya di studio kosambi dengan dukungan sepenuhnya sesuai keadaan. Serta menjadikan studi kosambi sebagai ruang berkarya untuk seniman-seniman di seluruh Indonesia. Luar biasa bukan?

Ya cukup luar biasa jika pertunjukan ini juga ditonton seorang calon Kajari Limboto di Kab. Gorontalo, Armen wijaya SH, Mhum
yang sebelumnya mendapat energi tradisi dalam upacara "upah-upah" adat budaya Melayu serta seirang Kajari Blengkeujeren,  Boby Sandri SH. Penawar pendingin dari seorang yang sudah dianggap adik sendiri. Begitulah sebuah teater berlangsung dengan sangat hikmat dan intim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun