Mohon tunggu...
ayub badrin
ayub badrin Mohon Tunggu... Penulis - Ayub Badrin seorang jurnalis

Selain menggeluti dunia Teater saya juga aktif di media masa lokal.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kalah Menang Pilihan Kita

21 Mei 2019   23:44 Diperbarui: 22 Mei 2019   00:06 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Berbuat untuk membangun negeri itu tidak harus menjadi pemerintah kawan.  Tidak harus menang Pilpres.  Pilpres itu kan cuma proses mencari presiden. Suara Anda yang 44,50 % itu adalah potensi besar untuk ikut bergotong royong membangun bangsa.

Mengapa kita harus merasa kalah??  Tak ada yang kalah saudara.  Bangsa ini bukan milik yang menang saja.  Bangsa ini milik kita bersama.  Menang pun Jokowi,  kami yang mendukungnya tetap sama hak dan kewajibannya. Kalau kami jahat,  kami akan ditangkap juga.  Kami bayar listrik juga,  kami bayar air juga,  kami bayar pajak juga,  bayar BPJS juga. Sama dengan saudara saudara juga.  Kalau Prabowo menang,  saudara saudara juga bayar ini dan itu.

Maka nenurut saya tak perlu demo.  Untuk apa?  Toh siapa pun presidennya hakikinya adalah pilihan kita.  Pilihan rakyat Indonesia. Apalagi demo ini diyakini untuk merebut kekuasaan. Demo ketidakpuasan atas hitungan KPU yang dinilai curang dalam menghitung suara.

Tinggal bagaimana kita saling bahu membahu membuat negeri ini makmur.  Caranya bagaimana?  Caranya memang tak bisa duduk duduk lantas dapat uang. Kita harus bekerja. Bekerja adalah salah satu cara membantu negara untuk mencapai kemakmuran.  

Kawan, di negara maju manapun,  hukum harus ditegakkan,  baru bisa mencapai kemajuan itu.  Gak bisa kita hidup,  seenaknya. Kalau hukum lemah maka negara pasti hancur.  Lihat besi besi jembatan berhilangan.  Lihat kursi besi taman berhilangan. Lihat semrawutnya lalu lintas,  klakson sesuka hati dipencet,  semua itu karena hukum negara sangat lemah.  Kita sudah terbiasa hidup dalam kebiasaan siapa cepat dia dapat. Mengambil seenaknya kekayaan rakyat di kantor kantor pemerintah.  Itu semua sudah tidak boleh lagi kawan.

Kawan negeri ini memang harus dibenahi dari segala penjuru. Jalan yang kupak kapik.  Lihat kita tidak bisa jalan kaki di kota kota, abu dan sampah berserakan.  Sorga adanya di mall mall,  ini tidak boleh kawan.  Tidak semua kita bisa menikmati mall mall dengan keuangan kita yang tipis.  Alangkah enaknya kalau jalan jalan ditata sedemukian rupa.  Taman taman kota terpelihara.  Sungai sungai bersih.

Untuk bisa seperti itu,  hukum dulu harus tegak dan tegas.  Buang sampah sembarangan,  dihukum,  buang sampah ke sungai dihukum,  langgar lampu merah,  dihukum,  ngejek tetangga dihukum,  membiarkan anak terlantar dihukum,  ngomong sembarangan menyinggung seseorang dihukum,  meludahkan dahak sembarangan dihukum,  merokok sembarangan dihukum,  pokoknya hidup kita mmg harus diatur oleh hukum apalagi sampai mengucapkan kata kata memenggal kepala presiden.

Mula mula memang berat hidup seperti ini.  Oh tidak saya salah. Justru sejak zaman nenek moyang,  kita sudah diatur oleh hukum adat. Hidup kita teratur.  Hidup kita penuh aturan.  Kita percaya betul,  kalau melanggar hukum adat adalah pantang. Bisa terkena kutukan tuhan,  bisa terkena musibah dll.

Keramahtamahan kita sebagai bangsa Indonesia,  sudah sangat terkenal. Kita adalah bangsa yang sangat tau menghargai orang lain. Kita punya tatakrama yang mumpuni.  Sedangkan bangsa lain,  taat patuh karena hukum.  Kita tidak.  Kita punya adab adab dalam tata cara menjalani kehidupan. Kita mampu bersosialisasi hanya dengan menjaga norma norma,  nilai nilai luhur yang diturunkan orang orang tua kita terdahulu.

Tetapi mengapa semua itu sirna begitu saja.  Kita jadi bangsa yang apatis.  Bangsa yang tidak mengerti bagaimana menjaga keseimbangan alam. Egois, mau menang sendiri.  Pantang disenggol,  jadi. Mau menolong orang jika banyak uang, itupun cari uang receh dulu. Kalau sudah nolong orang sikit,  dah merasa paling baik di dunia.  Padahal orang lain tanpa gembar gembor melakukan kebaikan dgn sumbangan yg besar.  Sekali menyumbang miliaran.  Punya budaya melepas ribuan burung, yang ditangkap,  melepas ribuan ikan di sungai, danau dsb.  Semua dilakukan dengan diam diam dan tak mengenal kata rugi. Padahal terkadang mereka tak mengenal agama.  Mereka tak mau tahu apakah mereka kelak masuk surga atau neraka.

Banyak sekali yang bisa kita kerjakan untuk membangun bangsa ini.  Gak usah takut miskin.  Kalaupun miskin,  hadapi saja dengan tenang. Gak bisa makan enak,  ya makan pakai tempe doang.  Atau lapor pemerintah,  minta tanah di hutan,  buka ladang,  dan jadi petani.  Atau buka pesantren. Atau buka warung geratis. Apa,  gak mungkin? Mungkin. Sudah banyak cerita cerita bak dongeng itu tetapi sebenarnya sebuah cerita nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun