Mohon tunggu...
ayub badrin
ayub badrin Mohon Tunggu... Penulis - Ayub Badrin seorang jurnalis

Selain menggeluti dunia Teater saya juga aktif di media masa lokal.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Kampoeng Batik di Kota Semarang, Wisata Belajar Mbatik yang Unik

6 Desember 2018   11:05 Diperbarui: 12 Desember 2018   05:28 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Batik Semarang berbeda dengan batik Jogyakarta dan solo. Perbedaan tersebut dari sisi motifnya. Kata Luwito ciri-ciri Batik Semarang bermotif kembang kangkung dan Manuk Pletuk.

Harga Batik Semarang cukup variatif. Dari harga Rp150 ribu hingga Rp5 jutaan tergantung kwalitas dan motifnya.

fb-img-1544567284403-5c103a48c112fe46f8685833.jpg
fb-img-1544567284403-5c103a48c112fe46f8685833.jpg
Edo Pramono (pemandu), yang ikut mendampingi mengunjungi tempat tempat wisata di Semarang menjelaskan, Produksi Batik Semarang tidak kalah kwalitasnya dengan batik, Jogya, Solo dan Pekalongan. "Batiknya ndak luntur mas. Ada malah yang makin dicuci makin cerah warnanya," ujarnya.

Edo Pramono juga menceritakan tentang kampung batik yang di hanguskan oleh pepera di Semarang, masih bertahan hidup perusahaan batik milik orang Cina peranakan di Kampung Bugangan. Perusahaan ini berkembang sejak awal abad ke-20 sampai dengan tahun 1970-an, bernama Tan Kong Tien Batikkerij. Pemilik perusahaan bernama Tan Kong Tien, yang menikah dengan Raden Ayu Dinartiningsih, salah satu keturunan Hamengku Buwana III dari Kesultanan Jogjakarta.

Tan Kong Tien adalah salah seorang putera dari Tan Siauw Liem, seorang tuan tanah di Semarang, yang mendapat gelar mayor dari pemerintah Hindia Belanda. Kekayaan tanahnya meliputi kawasan Bugangan sampai Plewan, seluas 90 ha. Karena kekayaan itu, tidaklah mengherankan jika putera Tan Siauw Liem itu diambil sebagai menantu oleh sultan di Jogjakarta. 

Tan Kong Tien memperoleh keahlian membatik dari istrinya yang masih kerabat keraton Jogja itu. Keahlian dalam pengelolaan usaha batik diturunkan kepada puteri Tan Kong Tien, Raden Nganten Sri Murdijanti, yang meneruskan perusahaan Tan Kong Tien sampai dengan tahun 1970-an. 

Setelah kemerdekaan Indonesia, Raden Nganten Sri Murdijanti memperoleh hak monopoli batik untuk wilayah Jawa Tengah dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Pemesan batik pada masa kolonial Belanda berasal dari kalangan pejabat pemerintahan, para turis, dan pedagang.

fb-img-1544567036513-5c103970677ffb583c26b035.jpg
fb-img-1544567036513-5c103970677ffb583c26b035.jpg
 Produk-produk yang dipesan berupa jarit/nyamping, selendang, dasi, dan topi. Pada tahun 1970, perusahaan batik Tan Kong Tien surut, karena tidak ada lagi generasi penerusnya.

Sementara, Kabag Humas Pemko Medan Ridho Nasution yang diwakili Kasubbag Humas Pemko Medan, Hendra Tarigan S.Sos saat ditanya tujuan mengunjungi Kampoeng Batik mengatakan, apa yang dilakukan Pemko Semarang dapat menjadi  inspirasi dan diadopsi Pemko Medan untuk diterapkan Kota Medan.

"Kampoebg Batik ini sangat menginspirasi kita. Apa lagi dengan adanya Sentra Batik Medan yang diperkenalkan Ketua TPPK Ibu Hj Maharani dapat meniru tindakan Kampung Batik Semarang agar mampu mendatangkan wisatawan," pungkas Hendra. ayub

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun