Mohon tunggu...
Badaruddin Amir
Badaruddin Amir Mohon Tunggu... Guru - Guru

Lahir di Barru pada 4 Mei 1962. Menulis puisi, cerpen dan esai satra pada berbagai media. Buku-bukunya yang sudah terbit antara lain, "Latopajoko & Anjing Kasmaran" (Kumpulan Cerpen), "Karya Sastra sebagai Bola Ajaib" (Kumpulan Esei), "Aku Menjelma Adam" (Kumpulan Puisi), "Cerita Kita Bersama" (Kumpulan puisi). Karya-karya cerpen dan puisinya yang lain dibuat dalam beberapa antologi bersama yang terbit di Makassar. Sekarang menjadi guru dan wartawan pada sala satu majalah pendidikan yang terbit di Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Festival "To Beru" ke-8 dalam Varian Seni Rupa

22 Februari 2019   19:15 Diperbarui: 22 Februari 2019   19:17 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada varian lain dari Festival To Berru ke 8 yang berlangsung di alun-alun Taman Colliq Pujie Kabupaten Barru pada 19-21 Februari 2019 kali ini. Jika sebelumnya festival yang diagendakan tiap tahun mengiringi Hari Jadi Kabupaten Barru, hanya menampilkan budaya-budaya lokal-eksotik seperti permainan olahraga tradisional, ekshibisi tarian tradisional, musik tradisional, pesta rakyat tradisional mappadendang, pemilihan duta budaya atau duta wisata, karnaval budaya, maka kali ini mulai menyertakan seni yang tidak lagi dalam bingkai "tradisional". 

Pameran Seni Rupa Kabupaten Barru dengan menampilkan 71 lukisan hasil karya para pelukis lokal dari berbagai kalangan: ada pelukis amatiran, guru seni rupa, pelajar dan masyarakat yang memiliki lukisan karya sendiri.

Pameran seni rupa ini tentu merupakan ekshibisi yang menakjubkan. Betapa tidak, karena sebelumnya boleh disebut kehidupan dunia seni rupa di Kabupaten Barru sepi. Tak ada perupa di Barru yang dapat bertahan dengan idealisme dan ambisi-ambisi masa mudanya. Laporan saya pada tahun 1981 di Harian Pedoman Rakyat, usai pelaksanaan pameran bersama ketika itu --kalau tak salah ingat di Gedung Wanita kabupaten Barru dalam rangka memperingati Hari Pendidikan 2 Mei-- sebagai pameran seni rupa pertama di daerah tersebut, yang dibuka oleh Kepala Dinas P dan K Propinsi Sulawesi  Selatan ketika itu, hanya mencatat beberapa nama menonjol sebagai pelukis Barru seperti Abd. Kadir Tj, Idrus, alm.

 Husain yang lebih dikenal sebagai pemusik tradisional dan segelintir guru seni rupa lain yang mengembangkan seni rupa secara sadar di luar tugas profesionalnya sebagai guru. Yang meramaikan pameran bersama ketika itu karena adanya pelukis-pelukis dari daerah lain yang diundang ikut ekshibisi. Kemudian beberapa tahun berikutnya ada sebuah pameran seni rupa bersama juga masih dalam rangka Hari Pendidikan, di SKB Barru juga dibuka oleh Kepala Dinas P dan K Propinsi, pelakunya dan penggeraknya masih yang itu-itu juga meski sudah ada pendatang baru. 

Pameran ini dapat dicatat sebagai pameran ke dua di Kabupaten Barru. Sedang pameran seni rupa ke tiga yang lebih semarak dibanding dua pamereran sebelumnya dilaksanakan dalam rangkaian Festival dan Seminar Internasional Lagaligo pada tahun 2002. 

Pada waktu itu ikut bergabung pula pameran arsip dan benda-benda cagar budaya dari propinsi. Para perupa yang meramaikan pameran tersebut juga bukan hanya perupa lokal tapi sebagian besar perupa dari berbagai daerah. Selepas dari ke tiga pemeran tersebut --dan kini sudah tujuh belas tahun, barulah kembali diadakan pameran seni rupa lagi.


Redupnya kehidupan seni rupa di Barru hampir dua dasawarsa (dekade) ini, terutama memang karena hampir tak ada lagi perupa yang bisa bertahan untuk terus berkarya secara "ajeg" tanpa dorongan dari pihak yang kompeten (dalam hal ini pemberian ruang gerak dari pemerintah misalnya gedung pameran dan lain-lain). Para perupa yang dulu di masa mudaya penuh vitalitas dan idealisme kemudian menghadapi fenomena sosial lain: kehidupan masyarakat desa yang agraris belum membutuhkan seni rupa -- juga seni-seni lain seperti sastra -- untuk tujuan yang lebih intens seperti penyucian diri (katarsis) melalui kematangan tingkatan apresiasi masing-masing. 

Atau dengan kata lain publik seni belum terbentuk sehingga tujuan-tujuan seni belum terterima dengan baik selain untuk kepentingan pembelajaran di ruang-ruang kelas. Kecuali itu pemerintah daerah pun belum merasa penting untuk mengeksploatasi seni-seni modern untuk tujuan pembangunan pariwisata pedesaan. Banyak daerah yang lebih mementingkan untuk merevitalisasi seni-seni tradisional untuk tujuan tersebut  ketimbang memberi  ruang untuk perkembangan seni-seni modern. Maka seni-seni modern --selain seni untuk hiburan semata---biasanya berkiblat ke kota.

Tapi kehidupan seni rupa di Barru tak dinyana memang seperti bara api dalam sekam. Tak terlihat namun tak pernah benar-benar mati. Para pelukis alumni Seni Rupa IKIP dan berprofesi sebgai guru diam-diam masih terus memelihara kuas dan berkarya secara "tersembunyi". Hanya saja kesempatan ekshibisi untuk menunjukkan karya-karya mereka selama hampir dua dekade  belakangan ini memang tak mereka miliki. 

Pada berbagai even yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, katakanlah seperti Festival To Berru yang sudah memasuki tahun ke 8 ini, baru kali inilah mereka mendapat kesempatan untuk ikut ambil bagian. Selama ini mereka memang seperti terlupakan. Sejak tahun 2012 Festival To Berru dari tahun ke tahun identik dengan festival tari, karnaval budaya tradisional, peragaan busana, dan pemilihan ratu-ratuan. Tak ada kegiatan bernuansa intelektua seperti seminar budaya, workshop kebudayaan, dialog kebudayaan, dan bedah buku karya sastrta.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun