Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

PKH dalam Empat Babak

2 Maret 2019   23:53 Diperbarui: 3 Maret 2019   00:21 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bu Heltini dan warung baksonya (sumber: pkh.kemensos.go.id)

Kembali ke Jakarta, Parjo termenung ketika mendengarkan kutbah Jumat di kampungnya.  "Allah tidak akan mengubah nasih seseorang jika orang itu tidak mau mengubahnya."   

Babak Keempat

Mestinya kisah ini berakhir happy ending di babak Ketiga.   Tapi masih ada tambahan babak keempat yang berakhir anti klimaks.  Tokohnya adalah Bu Jiwo.  Ia sukses keluar dari garis kemiskinan namun ia enggan keluar dari PKH seperti Bu Heltini.   Ini dianggap sebagai uang tambahan buat belanja dan jalan-jalan.  Ini jadi kontra produktif.  Masih banyak orang lain yang berhak atas PKH dibandingkan Bu Jiwo.

"Lha, nama saya masih ada kok.  Apa salahnya saya dibantu Pemerintah," ujar Bu Jiwo ngotot.

Piul terpaksa harus turun tangan .  Pendamping KPMPKH ini merasa wajib untuk meluruskan kembali Bu Jiwo ke jalan yang benar.     Tugas Piul berat juga.  Mereka yang awalnya dibimbing untuk keluar dari kemiskinan dan terhindar dari nasib tragis seperti Sugih.   Sudah berhasil, mereka pun harus dibimbing ke jalan yang benar agar tidak menyalahgunakan PKH ini dan keluar dari program KPH dengan sukarela.  

"Masih banyak orang miskin lain yang lebih membutuhkan dana tersebut dari Ibu Jiwo. Ibu tega mengambil hak-hak mereka.  Masih banyak orang di luar sana yang perlu ditolong.  Jangan sampai ada orang yang mengalami nasib seperti Sugih. "

Bu Jiwo menangis.  Menyesal.   Ya, selama ini ia terus menerima dana PKH meski seharusnya orang macam Sugih yang lebih berhak menerimanya.    Bu Jiwo justru menolak ketika Sri datang untuk berhutang beras padanya.   Meski Sri sampai menangis dan mohon pengertiannya.

"Maaf ya, Sri.   Bayar dulu hutang-hutangmu kemarin, baru kamu bisa hutang beras lagi di warung saya."

Sehari sebelumnya, ia menolak permintaan yang sama dari Sugih.   Sugih dengan berjalan gontai meninggalkan warungnya.   Itu terakhir kali Bu Jiwo melihat Sugih.

Kasus seperti Bu Jiwo ini banyak terjadi di tanah air.    Bukan kasus menolak memberi hutang.  Tapi kasus penyalahgunaan data penerima PKH.

Mungkin cara yang dilakukan Pemerintah Brebes mungkin bisa ditiru.   Di kota penghasil telur asin ini, petugas PKH menempelkan stiker di rumah-rumah para penerima PKH.   Ada beberapa keluarga penerima PKH sebenarnya berasal dari keluarga mampu.  Rumah mereka permanen dan milik sendiri, selain itu punya usaha atau kendaraan roda empat.   Mereka sudah selayaknya tak menerima PKH.  Karena malu, mereka akhirnya mengundurkan diri sebagai pernerima bansos  PKH.  Mosok wong sugih nrimo PKH.  Apa kata tetangga.  Hasilnya jumlah penerima PKH tahap I tahun 2019 di Kabupaten Brebes mengalami penurunan sebanyak 378 KPM dari semula 128.071 KPM menjadi 127.693 KPM.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun