Teknologi 5G telah menjadi perbincangan hangat belakangan ini karena janji peningkatan drastis dalam kecepatan, kapasitas, dan konektivitas yang dibawa. Seperti dijelaskan dalam artikel "Perkembangan Teknologi 5G" di Pojok Jakarta, 5G menjanjikan unduhan hingga 10 gigabit per detik dan latensi sangat rendah---hal yang membuka peluang besar untuk aplikasi-aplikasi mutakhir seperti streaming 4K/8K, VR, dan AR. Pojok Jakarta Namun, ketika kita melihat teknologi ini dari sudut pandang ekonomi publik, muncul pertanyaan: apakah 5G bisa dikategorikan sebagai barang publik (public good)? Secara tradisional, barang publik memiliki dua karakteristik utama: non-rivalry (konsumsi satu pihak tidak mengurangi konsumsi pihak lain) dan non-excludability (sulit untuk mengecualikan orang agar tidak mengaksesnya). Menurut pandangan tersebut, kita perlu menguji sejauh mana 5G memenuhi kedua karakteristik itu, dan sekaligus memahami batas-batasnya agar kebijakan publik dan regulasi dapat dimainkan untuk memastikan akses yang adil.
Dari sisi non-rivalry, 5G memiliki potensi kuat untuk memenuhi karakteristik ini, karena jaringan berkapasitas tinggi dapat mendukung banyak perangkat secara simultan tanpa degradasi performa yang signifikan. Artikel Pojok Jakarta menekankan bahwa 5G "meningkatkan kapasitas jaringan, memungkinkan lebih banyak perangkat untuk terhubung secara bersamaan tanpa mengorbankan kecepatan atau kualitas koneksi." Pojok Jakarta Hal ini ideal bagi era Internet of Things (IoT), di mana berbagai perangkat---dari kendaraan pintar hingga sensor rumah tangga---terhubung terus-menerus. Namun dalam praktik nyata, non-rivalry ini tidak absolut: jika jumlah pengguna dalam satu area terlalu padat atau infrastruktur tidak memadai, maka kualitas koneksi bisa menurun. Dengan demikian, 5G lebih cocok disebut sebagai quasi-public good---yakni barang yang mendekati barang publik tetapi tetap memerlukan intervensi agar performanya terjaga dan aksesnya merata.
Mengenai non-excludability, 5G berada pada ujung spektrum yang berbeda---sifat ini lebih sulit dipenuhi secara alami. Operator telekomunikasi bisa menentukan siapa yang boleh mengakses layanan berdasarkan langganan atau paket layanan, sehingga akses tidak otomatis bersifat universal. Artikel Pojok Jakarta menyebut bagaimana keberhasilan 5G bergantung pada "pemerintah dan perusahaan untuk bekerja sama dalam mengatasi tantangan ini dan memastikan bahwa manfaat 5G dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat." Pojok Jakarta Jika 5G dibiarkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, maka ia akan cenderung menjadi layanan komersial eksklusif. Namun, jika negara memposisikan 5G sebagai infrastruktur strategis dan mengatur kebijakan subsidi, tarif adil, atau layanan publik yang menggunakan 5G (seperti pendidikan daring, kesehatan digital, kota pintar), maka unsur non-excludability bisa lebih dipertebal melalui intervensi publik. Dengan demikian, 5G bisa berubah dari barang komersial menjadi semacam barang publik campuran (mixed public good).
Salah satu aspek yang menguatkan argumen 5G sebagai barang publik adalah eksternalitas positifnya. Manfaat 5G tidak hanya dirasakan langsung oleh pengguna, tetapi juga merembet ke seluruh masyarakat. Misalnya, sistem transportasi pintar berbasis 5G dapat meningkatkan kelancaran lalu lintas dan mengurangi polusi --- hal ini memberi keuntungan tidak hanya bagi pengguna kendaraan, tetapi bagi semua orang di kota tersebut. Pojok Jakarta menyebut bahwa 5G mendorong inovasi industri, serta berdampak pada sektor kesehatan, pendidikan, dan logistik. Pojok Jakarta Dengan demikian, dampak sosialnya bersifat kolektif, dan sulit untuk membatasi manfaat hanya kepada mereka yang membayar. Dalam konteks ini, 5G menunjukkan karakteristik eksternalitas publik yang memperkuat posisi sebagai barang publik (atau minimal barang publik tersentuh).
Meski potensi tersebut menarik, tantangan implementasi sangat besar. Infrastruktur 5G membutuhkan investasi tinggi: pembangunan menara, jaringan fiber optik, stasiun dasar (base station). Artikel Pojok Jakarta menunjuk bahwa "pembangunan infrastruktur 5G memerlukan investasi besar dan waktu yang tidak sedikit." Pojok Jakarta Kenyataannya, akses 5G sering dimulai di kota besar yang menggambarkan disparitas antara daerah kaya dan daerah terpencil. Ini berpotensi memperlebar kesenjangan digital, yang justru bertolak belakang dengan konsep barang publik yang inklusif. Maka, intervensi negara diperlukan agar distribusi infrastruktur dapat merata, terutama ke daerah terpencil. Tanpa itu, 5G akan berperilaku seperti barang privat biasa, hanya tersedia di area dengan potensi pasar tinggi.
Selain tantangan infrastruktur, isu keamanan dan privasi menjadi sangat krusial. Dalam jaringan 5G, jumlah perangkat terhubung akan sangat besar, meningkatkan risiko serangan siber dan kebocoran data. Jika jaringan milik layanan penting seperti rumah sakit, sistem energi, atau transportasi terpapar serangan, maka dampaknya menyentuh kepentingan publik secara luas. Sebagai barang publik atau quasi-public good, keamanan jaringan harus dijaga secara kolektif. Pojok Jakarta mengingatkan bahwa "ada juga kekhawatiran tentang keamanan dan privasi data, mengingat jumlah perangkat yang terhubung akan semakin banyak." Pojok Jakarta Dengan demikian, peran regulator, lembaga keamanan siber, dan kolaborasi antar sektor menjadi vital agar 5G tidak justru menjadi pintu masuk kerentanan sistem publik.
Dengan mempertimbangkan semua aspek---non-rivalry, non-excludability, eksternalitas positif, tantangan investasi, dan keamanan---teknologi 5G menempati posisi antara barang publik klasik dan barang komersial. Dari artikel di Pojok Jakarta, kita mendapatkan gambaran kekuatan 5G dalam meningkatkan kapasitas, inovasi industri, dan akses digital yang lebih merata (jika dikelola dengan baik). Pojok Jakarta Untuk menjadikan 5G sebagai barang publik sejati, keterlibatan negara sangat penting: regulasi tarif, subsidi infrastruktur di daerah terpencil, kewajiban layanan dasar, dan perlindungan keamanan siber. Jika dilakukan dengan tepat, 5G bisa melampaui status sebagai sekadar layanan komersial dan menjadi fasilitas publik strategis yang mendukung kemajuan inklusif masyarakat. Akhirnya, 5G hendaknya tidak hanya dianggap sebagai teknologi supercepat, tetapi sebagai instrumen kebijakan publik yang menyediakan akses digital sebagai hak bersama --- sejalan dengan karakteristik ideal barang publik.
Referensi: https://pojokjakarta.com/2025/01/09/perkembangan-teknologi-5g/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI