Mohon tunggu...
Azzahroh Nuril
Azzahroh Nuril Mohon Tunggu... Mahasiswa - An undergraduate student at UIN Sunan Ampel Surabaya

For further inquiries, Nuril can be reached through email : azzahrohnuril@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan dan Glass Ceiling

2 Januari 2023   10:08 Diperbarui: 2 Januari 2023   10:34 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Glass Ceiling | Sumber Gambar: Dan Marzullo via Zenefits.com

Tanggal 22 Desember telah disepakati masyarakat Indonesia sebagai peringatan Hari Ibu. Bukan tanpa alasan tanggal tersebut ditetapkan sebagai peringatan Hari Ibu. Dipilihnya tanggal tersebut karena bertepatan dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia ke-1 di Yogyakarta, yang menandai sejarah kebangkitan perempuan Indonesia. Seharusnya, peringatan Hari Ibu bukan hanya berfokus pada peran domestik seorang ibu saja, namun juga dijadikan momentum untuk memperjuangkan pembebasan dan kebangkitan perempuan.

Kasus ketimpangan dan diskriminasi terhadap perempuan seperti tidak asing di telinga kita, termasuk dalam lingkungan kerja atau profesi. “It’s a man’s world” bukan hanya ungkapan belaka, karena sayangnya ini masih menjadi realita. Dunia pekerjaan masih dikuasai oleh laki-laki, sedangkan perempuan masih kurang representasi. Glass ceiling atau langit-langit kaca adalah istilah untuk menggambarkan hambatan-hambatan yang dihadapi perempuan dalam meraih posisi atau jabatan tertinggi di tempat kerjanya.

Adanya fenomena glass ceiling membuat banyak perempuan merasa dirugikan. Karena mereka seringkali dibatasi dalam meraih posisi yang lebih tinggi, walaupun memiliki kemampuan dan kualitas yang setara bahkan lebih dari laki-laki. Sebagai contoh, kekalahan Hillary Clinton sebagai calon presiden Amerika Serikat merupakan akibat fenomena glass ceiling yang masih dipercaya dan dianut masyarakatnya.

Contoh lainnya, dalam banyak perusahaan hanya sedikit perempuan yang menduduki posisi eksekutif seperti Vice President, Senior Vice President, Chief Financial Officer (CFO), dan Chief Executive Officer (CEO). Bahkan hal ini juga terjadi di female dominated industry yang identik dengan dunia perempuan, seperti industri fashion maupun kecantikan. Dalam perusahaan-perusahaan kecantikan ternama di dunia, seperti Estee Lauder Companies Inc., hanya ada 20% presentase perempuan dalam jabatan eksekutif, sedangkan di L'Oreal Group hanya sebesar 28%, dan di Coty Inc sebesar 0%. Data tersebut didukung oleh Weyer (2007) yang menyebutkan hanya 17 wanita dari 1000 perusahaan yang menduduki jabatan CEO.

Fenomena glass ceiling digambarkan sebagai hambatan-hambatan tak kasat mata yang membatasi perempuan menuju posisi karir yang lebih tinggi. Hambatan yang dimaksud disini banyak jenisnya, salah satunya adalah perilaku dan budaya, seperti stigma dan stereotype mengenai gaya kepemimpinan. Menurut Cai dan Clainer (1999), manajer wanita banyak digambarkan kurang mempunyai karakteristik untuk menjadi manajer yang sukses.

Ada pula jenis hambatan lain berupa praktek-praktek dalam perusahaan, seperti rekrutmen, retensi, dan promosi. Perusahaan cenderung merekrut pekerja laki-laki daripada perempuan, karena menganggap kemampuan laki-laki lebih baik dibanding perempuan. Menurut Federal Glass Ceiling Commision dalam Wentling (2003), hambatan jenis ini disebut hambatan organisasional yang meliputi kegagalan dalam rekrutmen, pengembangan, dan dukungan terhadap wanita untuk mencapai posisi senior level management.

Selain hambatan organisasional, Federal Glass Ceiling Commision dalam Wentling (2003) juga menyebutkan 2 hambatan lain dalam fenomena glass ceiling, yaitu hambatan societal dan governmental. Hambatan societal merupakan akibat dari hambatan organisasional, yang menganggap bahwa perempuan kurang mempunyai komitmen terhadap pekerjaannya. Sedangkan hambatan governmental berarti bahwa pemerintah kurang terlibat dalam fenomena glass ceiling.

Pada dasarnya, glass ceiling merupakan akibat adanya stereotype feminitas dan maskulinitas, yang kemudian terlalu mengkotak-kotakkan “pekerjaan perempuan” dan “pekerjaan laki-laki”. Perempuan dianggap tidak sesuai kodratnya ketika melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan mesin atau pekerjaan lapangan yang identik dengan “pekerjaan laki-laki”. Banyak perempuan, khususnya lulusan fakultas teknik, kesulitan dalam mencari pekerjaan karena sebagian besar kualifikasi yang dicari dan dibutuhkan adalah laki-laki.

Diperparah lagi dengan stereotype laki-laki yang dianggap lebih tegas, lebih cekatan, lebih tepat dalam mengambil keputusan, dan berbagai stereotype positif lainnya. Sedangkan perempuan seringkali dianggap lemah, tidak kompeten, dan lebih dominan perasaan dibanding logika sehingga dianggap kurang cocok untuk mengemban jabatan tinggi. Selain itu, adanya stereotype-stereotype tersebut membuat para pengusaha menjadi tidak adil dalam merekrut karyawan, mereka percaya jika wanita duduk di posisi manajemen pasti umurnya tidak akan lama karena akan pergi dan lebih mementingkan keluarganya (Hayes, et.al., 2009 dalam Nozawa, 2010).

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, fenomena glass ceiling dalam lingkungan kerja menjadi penghambat karir yang jelas merugikan perempuan. Glass ceiling memberikan efek atau dampak negatif bagi perempuan, yaitu menimbulkan berbagai dampak psikologis. Perempuan akan kehilangan rasa percaya diri, ragu, bahkan menyalahkan diri sendiri karena merasa tidak mampu meraih posisi yang lebih tinggi. Perempuan akan merasa frustasi hingga stress, akibat kurangnya kesempatan dalam mengembangkan karirnya. Dampak-dampak psikologis yang dialami perempuan tersebut juga dapat membuat produktivitas kerjanya menurun dan jelas mengganggu rutinitas pekerjaannya. 

Dalam mengembangkan karirnya, perempuan akan mendapati beberapa hal yang akan mendukung ataupun menghambat proses perubahan karirnya. Ada beberapa hal yang dapat mendukung perubahan karir perempuan. Pertama, kompetensi atau kualitas diri yang dapat meyakinkan dan membuat perusahaannya percaya untuk memberikan posisi atau jabatan yang lebih tinggi. Kedua, skill atau keahlian yang dimiliki seorang perempuan akan membuatnya lebih dihargai dan dipercaya oleh rekan maupun atasan kerjanya. Ketiga, rasa percaya diri dan komitmen terhadap pekerjaannya, yang menjadi modal perempuan untuk mendukung kompetensi dan membuatnya merasa mampu meraih posisi yang lebih tinggi. Keempat, rasa ingin tahu dan keinginan untuk belajar hal-hal baru, yang dapat membantu perempuan melahirkan inovasi-inovasi baru bagi perusahaan. Terakhir, dukungan dan kesempatan dari perusahaan tempatnya bekerja juga menjadi salah satu hal penting bagi perempuan untuk mengembangkan karirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun