Disusun Oleh: Azzahra Khoirunnisa
Mahasiswi PPKn UNNES
PERANG DIPONEGORO 1825-1830
Perang Diponegoro atau bisa disebut sebagai Perang Jawa, adalah salah satu pertempuran terbesar dan paling signifikan dalam sejarah Indonesia. Berlangsung di Pulau Jawa dari tahun 1825 hingga 1830. Â Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan dan figur terkenal dari Kesultanan Yogyakarta, memimpin perang ini melawan pemerintahan kolonial Belanda yang semakin menguasai Jawa.Â
Latar Belakang Perang Diponegoro
Ketidakpuasan Pangeran Diponegoro dan rakyat Jawa terhadap kebijakan kolonial Belanda yang semakin menindas dan ikut campur dalam urusan pemerintahan keraton adalah penyebab utama perang ini. Â Belanda tidak hanya menindas secara ekonomi dan politik, tetapi juga melakukan hal-hal yang dianggap melanggar kebiasaan Jawa, seperti memasang patok di jalan yang akan melewati makam orang-orang Diponegoro. Â Selain itu, keraton dianggap tidak mampu menahan tekanan politik Belanda, dan mereka bahkan hidup mewah tanpa memperhatikan kesulitan rakyat.Â
Kronologi
Pertempuran terbuka dimulai dengan pengerahan infantri, kavaleri, dan artileri dari kedua belah pihak, yang menjadi senjata utama dalam pertempuran frontal sejak perang Napoleon. Â Pertempuran di garis depan terjadi di banyak kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran itu sangat sengit sehingga pasukan Belanda dapat menguasai suatu wilayah pada siang hari, tetapi pasukan pribumi dapat mengambilnya kembali pada malam harinya. Â Untuk memenuhi kebutuhan perang, jalur logistik dibangun dari satu tempat ke tempat lain. Di dasar jurang dan di hutan, banyak kilang mesiu dibangun. Â Sementara peperangan berlangsung, produksi mesiu dan peluru terus berlanjut. Â Para kurir dan telik sandi berusaha keras untuk menemukan dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk membuat strategi perang. Â Karena penguasaan informasi adalah kunci untuk pembuatan taktik dan strategi yang efektif, informasi tentang kekuatan musuh, jarak tempuh, waktu, dan kondisi medan sangat penting.Â
Serangan besar dari penduduk asli atau rakyat peribumi biasanya terjadi pada bulan penghujan.  Karena hujan tropis yang deras akan menghalangi pasukan Belanda untuk bergerak, gubernur Belanda akan berusaha untuk mencapai gencatan senjata dan perundingan saat musim penghujan tiba.  Penyakit seperti disentri dan malaria menjadi "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kesehatan pasukan Belanda, bahkan mengancam nyawa mereka. Setelah gencatan senjata, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan mereka dan menyebarkan provokator dan mata-mata untuk bergerak di kota-kota dan desa, menghasut, memecah belah, dan menekan anggota keluarga pangeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang dipimpin Pangeran Diponegoro.  Namun, pejuang asli tidak menyerah dan terus melawan Belanda. Pangeran Serang II, seorang bangsawan yang mendukung Pangeran Diponegoro di awal perang, menyerang pertahanan Belanda di Pantai Utara Jawa, terutama di wilayah Serang-Demak, dari Agustus hingga September 1825. Raden Tumenggung Ario Sosrodilogo, adik ipar Diponegoro, bergabung dalam pemberontakan di Bojonegoro (1827–1828) dan menuju pesisir utara, memperoleh Rembang, Lasem, dan Tuban.  Sayangnya, setelah kehabisan pasukan, Raden Sosrodilogo terpaksa menyerah kepada Belanda pada Oktober 1828.Â
Pada tahun 1827, Belanda menyerang Pasukan Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng. Â Kyai Mojo, pemimpin pemberontakan spiritual, ditangkap pada tahun 1829. Â Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya, Alibasah Sentot Prawirodirjo, kemudian menyerah kepada Belanda. Â Akhirnya, pada 28 Maret 1830, setelah perang berlanjut, Diponegoro ditangkap oleh Belanda di Magelang. Dia diasingkan ke Batavia selama sebulan sebelum dipindahkan ke Sulawesi hingga akhir hayatnya.Â
Kesimpulan