Mohon tunggu...
Azzahra Salsabilla
Azzahra Salsabilla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Politik 2018

Mahasiswa Ilmu Politik UPNVJ

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kebebasan Berekspresi Perempuan di Media Sosial Menurut Feminisme

22 April 2021   03:02 Diperbarui: 22 April 2021   03:27 1157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Google.com

Perkembangan teknologi informasi merupakan sebuah penandan adanya modernisasi dalam suatu masyarakat. Semakin hari internet menjadi sebuah kebutuhan utama sehari-hari. Mulai dari pendidikan, bersosialisasi, olahraga, bisnis, dan lain-lain. Semakin berkembangnya teknologi informasi membuat lahirnya sebuah media sosial. Media sosial adalah situs online yang berfungsi untuk menyebarkan informasi dan juga berinteraksi. Media sosial juga merupakan wadah untuk berekspresi. Salah satu media sosial yang saat ini sedang hype di Indonesia adalah Tiktok, Instagram, Youtube, dan Twitter. Bagaimana tidak? Karena munculnya pandemi Covid-19 membuat masyarakat harus di rumah agar aman dari virus tersebut. Dan media sosial ini lah yang menemani kehidupan selama pandemi.

Laporan terbaru dari agensi marketing We Are Social dan platform manajemen media sosial Hootsuite mengungkap bahwa lebih dari separuh penduduk di Indonesia telah "melek" alias aktif menggunakan media sosial pada Januari 2021. Angka pengguna aktif media sosial di Indonesia tersebut tumbuh sebesar 10 juta atau sekitar 6,3 persen dibandingkan bulan Januari 2020. Dalam periode yang sama, pengguna internet di Indonesia tumbuh 27 juta atau 15,5 persen menjadi 202,6 juta. Generasi milenial yang umum disebut generasi Y serta generasi Z mendominasi penggunaan media sosial di Indonesia yang paling banyak berasal dari kalangan muda dengan rentang usia 25-34 tahun (Stephanie, 2021).

Sebagai seorang perempuan, dengan tidak adanya larangan kebebasan berekspresi membuat perempuan bisa nyaman melakukan apa saja yang mereka inginkan. Kegiatan apa saja bisa kita lakukan. Sama halnya kebebasan berekspresi di media sosial. Saat ini, banyak perempuan Indonesia yang gemar berekspresi di media sosial. Biasanya hal tersebut dilakukan karena rasa bosan sampai mencari nafkah melalui media sosial. Seperti posting selfie, tutorial make up, dance video, dan lain-lain. Hal ini menunjukan bahwa banyak perempuan Indonesia yang percaya diri dan mendapat banyak pujian. Namun apakah hanya sebuah pujian?

Dalam media sosial, jika kita memposting sesuatu, tersedia kolom komentar dimana kita bisa menulis apa saja yang kita mau.  Dan nyatanya, walaupun perempuan sudah diberikan kebebasan berekspresi di media sosial, ternyata masih ada masalah yang harus dialami yaitu pelecehan seksual. Banyak sekali laki-laki yang selalu memberi komentar kasar maupun vulgar setiap perempuan memposting sesuatu. Hanya selfie saja banyak laki-laki yang dengan mudahnya menulis komentar kasar dan berbau vulgar. Dan sedihnya, beberapa postingan terkadang dijadikan sebuah bahan kotor oleh mereka dan mereka sendiri memberikan alasan pakaian terlalu terbuka dan “mengundang” yang membuat mereka tidak segan-segan menjatuhkan harga diri perempuan dengan semudah itu. Seakan-akan perempuan hanyalah sebuah “objek” untuk memuaskan laki-laki. Dengan begitu, perempuan tidaklah aman di dunia siber dan kebebasan berekspresi bagi perempuan terhalangi oleh adanya pelecehan seksual.

Perempuan sudah diberikan kebebesan berekspresi sejak lama. Baik kebebasan secara langsung maupun tidak langsung. Seperti dalam teori feminisme liberal. Apa yang disebut sebagai feminisme liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia (demikian menurut mereka) punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki (Retnani, 2017) .

Feminisme liberal merupakan kelanjutan dari gerakan feminis pada tahun 1960-an yang menginginkan kesetaraan perempuan terhadap laki-laki. Kesetaraan tersebut, menurut Wendy McElroy, diraih tidak dengan merusak sistem, tetapi melalui aksi afirmatif, karena mereka beranggapan bahwa laki-laki pada hakikatnya tidak menindas dan tidak keras kepala. Prinsip kelompok liberal adalah ‘tubuh perempuan, hak perempuan’. Perempuan memiliki hak atas tubuhnya sendiri dan juga hak untuk mengekspresikannya. Prinsip inilah yang antara lain juga mendasari seluruh argumen yang berkaitan dengan ketubuhannya seperti aborsi, hamil, sampai dengan kebebasan gaya hidup secara seksual seperti menjadi lesbian atau tidak menikah (Mukalam, 2006).

 

Dalam feminisme liberal dijelaskan bahwa perempuan mempunyai kebebasan berekspresi dimana pun dan kapan pun. Prinsip ‘tubuh perempuan, hak perempuan’ juga menunjukan bahwa perempuan dapat menggunakan hak kebebasan berekspresinya dengan menggunakan tubuh mereka. Seperti halnya dengan memposting apapun di media sosial seperti selfie, tutorial video, dance video, dan lain-lain. Perempuan memposting dengan tujuan bahwa apapun yang kita punya kita tetap percaya diri dan mengajak perempuan lainnya untuk menyayangi diri sendiri atau biasa disebut selflove. Ada juga yang mempunyai tujuan tersendiri untuk memposting di media sosial. Bisa saja perempuan tersebut ingin menyarankan sebuah produk, memamerkan sebuah produk, menyalurkan bakatnya, dan lain-lain. Apapun itu, pada dasarnya perempuan mempunyai hak untuk berekspresi dan memegang prinsip feminisme.

Namun faktanya dibalik kebebasan berekspresi perempuan, nyatanya kita harus berhadapan dengan pelecehan seksual. Laki-laki dengan mudahnya menjatuhkan harga diri perempuan dengan komentarnya yang jahat. Dalam teori feminisme radikal, aliran ini termasuk dalam kelompok gender resistance feminism yaitu aliran feminis yang berjuang melawan penindasan dan eksploitasi perempuan pada kehidupan sosial yang bias gender, khususnya mengenai isu seksualitas, kekerasan, dan representasi kultural mengenai perempuan. Singkatnya, menurut aliran ini, beberapa sumber ketidakadilan gender adalah: (a) Sistem penindasan terhadap perempuan oleh kaum laki-laki (sistem patriarkhi) yang selalu mendiskriminasikan perempuan; (b) Kekerasan dan kontrol laki-laki terhadap perempuan; (c) Pengabsahan penindasan terhadap perempuan melalui hukum, agama, dan lembaga-lembaga sosial lainnya; (d) Objektifikasi tubuh perempuan melalui iklan-iklan, mass media, dan produksi-produksi industri lainnya; (e) Eksploitasi perempuan melalui pornografi dan prostitusi (Wardatun, 2006).

Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan.Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal (Retnani, 2017, p. 101).

Dalam feminisme radikal, ada salah satu point mengenai kasus ini. Dijelaskan bahwa adanya ketidakadilan gender berasal dari diskriminasi perempuan, objektifitas tubuh perempuan, dan eksploitasi perempuan. Seperti yang dijelaskan tadi bahwa setiap perempuan memposting apapun di media sosial baik selfie atau konten yang memperlihatkan perempuan baik hanya wajah maupun tubuhnya terkadang postingan perempuan tersebut dengan mudahnya dilecehkan oleh laki-laki. Tidak hanya melalui kolom komentar namun beberapa laki-laki ada yang menyimpan postingan tersebut guna dijadikan sebuah “bahan”. Dan seperti yang dikatakan alasan laki-laki melakukan itu karena postingan perempuan yang terlalu “mengundang” baik karena pakaiannya maupun gayanya. Bahkan sebuah selfie saja pun bisa dikatakan seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun