Cancel culture adalah istilah yang merujuk pada pemboikotan maupun pengucilan massal kepada individu atau kelompok atas perilakunya di masa lalu atau sekarang. Dewasa kini, istilah cancel culture kerap kali bertebaran pada media social. Lantas, apakah perlu eksistensi cancel culture di Indonesia?
Cancel culture disayembarakan sebagai dukungan atas pihak yang termarjinalkan serta bentuk pembuktian bahwa keadilan berlaku bagi siapapun tanpa memandang power yang dimiliki. Memang, tujuan dari cancel culture bersifat positif, namun perlu juga kita pertimbangkan dampak dari budaya "cancelling" ini; mulai dari gangguan psikologi, kesulitan dalam mencari pendapatan, tindak kejahatan seperti doxxing, hingga judgement negatif dari netizen yang seakan-akan tidak ada lagi kebaikan dalam diri pelaku. Bagi para canceler pun, cancel culture dapat berdampak pada kehidupan sehari-hari, diantaranya adalah berkurangnya kemampuan untuk berpikir rasional karena kebencian yang berlebih. Tidak jarang juga cancel culture menimbulkan paradoks di mana banyak orang yang terlalu sibuk membenci sampai melupakan masalah yang sebenernya.
"Kalau begitu, apa yang bisa kita lakukan untuk menyadarkan pelaku penyimpangan?"
Jawabannya ialah call-out culture! Singkatnya, call-out culture adalah kegiatan menegur penyimpangan dengan mendukung kemajuan. Call-out culture menyadari bahwa kemungkinan seseorang untuk berubah itu selalu ada dan kemajuan individu, apa pun masa lalunya, sepatutnya didukung. Jadi, call-out culture tidak semata-mata memboikot, namun juga menuntun pelaku ke arah yang lebih baik.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa "cancelling" tidak sepenuhnya salah dan segala bentuk usaha dalam menegakkan keadilan justru diperlukan. Tetapi ketika kita memilih untuk menjadi bijak, "call-out" bisa lebih efektif dalam membangun masyarakat daripada menciptakan musuh abadi.