Oleh kelompok : Tan Malaka - Prodi Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang
Dalam dunia pemerintahan daerah, tidak banyak tokoh yang berani mengambil keputusan ekstrem di tengah arus opini publik yang beragam. Salah satu tokoh yang konsisten dengan langkah-langkah berani namun menuai pro dan kontra adalah Dedi Mulyadi, tokoh publik dari Jawa Barat. Kebijakan-kebijakan yang ia cetuskan kerap menabrak kebiasaan, tapi sekaligus membuka ruang dialog tentang keefektifan dan keberpihakan pemerintah pada problem sosial mendasar.
Salah satu kebijakan yang paling menyita perhatian adalah program pembinaan anak berhadapan dengan hukum (ABH) melalui jalur pendidikan semi-militer. Ini merupakan respons terhadap data ABH yang meningkat, terutama pasca-COVID-19. Pendekatan ini memiliki tujuan membentuk kedisiplinan dan karakter anak melalui pelatihan yang ketat, sebuah metode yang tidak lazim diterapkan oleh pemerintah daerah lainnya. Efektivitasnya masih menjadi perdebatan, namun setidaknya ini menunjukkan adanya inovasi dalam menyelesaikan persoalan sosial yang akut.
Tak berhenti di sana, Dedi juga melempar gagasan kontroversial: menjadikan vasektomi sebagai salah satu syarat penerima bantuan sosial (bansos). Alasannya bukan tanpa data---banyak keluarga miskin di Jawa Barat memiliki lebih dari lima anak dan tidak memiliki kemampuan mencukupi kebutuhan dasar. Dengan membatasi jumlah anak, diharapkan keluarga bisa lebih fokus pada kualitas hidup dan pendidikan. Namun, kebijakan ini menyentuh ranah etis dan hak asasi, yang membuatnya sulit diterima secara luas, walaupun niatnya adalah memutus rantai kemiskinan.
Kebijakan lainnya yang juga menarik adalah larangan terhadap seremoni wisuda dari jenjang TK hingga SMA. Bagi Dedi, seremoni ini tidak lebih dari beban finansial yang tidak substansial, apalagi di tengah maraknya fenomena pinjaman online. Langkah ini sangat relevan jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang banyak terjebak dalam jeratan utang untuk keperluan yang sebetulnya tidak esensial.
Namun, seberani apapun sebuah kebijakan, harus ada evaluasi keefisiensian. Efisiensi bukan hanya tentang hemat biaya, tetapi apakah kebijakan benar-benar menyelesaikan akar masalah, apakah pelaksanaannya realistis, dan apakah masyarakat menerima serta mendukungnya. Dalam banyak kasus, kebijakan Dedi Mulyadi memang visioner, namun sayangnya kurang dilengkapi dengan edukasi publik yang masif sehingga mudah disalahpahami.
Opini kami sebagai mahasiswa hukum adalah bahwa kebijakan berani harus diimbangi dengan komunikasi publik yang bijak. Negara memang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, namun cara mencapainya harus mempertimbangkan aspek hak asasi, partisipasi masyarakat, dan pendekatan yang manusiawi. Dalam hal ini, Dedi Mulyadi layak diapresiasi atas keberaniannya, namun setiap gagasan perlu diuji secara empiris dan akademik agar dapat diterima secara luas.
Kebijakan yang baik tidak harus populer. Tapi kebijakan yang berhasil adalah yang diterima masyarakat, efektif menyelesaikan masalah, dan dapat direplikasi. Kajian kritis terhadap tokoh seperti Dedi Mulyadi penting untuk memperkaya wacana kebijakan publik yang progresif di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI