Mohon tunggu...
Azizah Herawati
Azizah Herawati Mohon Tunggu... Penulis - Penyuluh

Pembelajar yang 'sok tangguh'

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kearifan Lokal dari Film "Tilik"

25 Agustus 2020   16:15 Diperbarui: 25 Agustus 2020   16:10 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar dari film "Tilik"

"Wis kabeh to iki?" teriak Yu Ning. "Uwiiiis!" sahut ibu-ibu. "Tak lebokke amplop yo iki, kabeh saksi lo yooo!" lanjut Yu Ning. "Yoooh!", jawab ibu-ibu lagi.

"Ngapa Bu, kok meneng wae?" tanya Yu Sam. "Kebelet nguyuh aku! Tak empet iki! Tekan ngendi to iki?" jawab Bu Tejo . "Yo isih adoh!" jawab Yu Sam. "Nyo nyo nyo..., ditaleni karet sik jempole!", kata Yu Ning sambil memberikan karet gelang pada Bu Tejo.

Seru banget ya dialognya! Renyah dan alami. Ala wong ndesa banget! Tentu masih banyak keseruan lain dan beberapa adegan dan dialog yang bikin gemes di film berdurasi 32 menit 34 detik ini. Tak ayal lagi kalau film besutan sutradara Wahyu Agung Prasetyo ini menjadi viral di media sosial.

Hampir semua fokus pada tokoh bernama Bu Tejo. Emak-emak berjilbab hijau toska yang mendominasi obrolan sepanjang perjalanan Dlingo, Bantul sampai Rumah Sakit PKU Gamping ini begitu menyita perhatian netizen. Sosok pembakar emosi yang julid banget, begitu penasaran dengan keseharian perempuan bernama Dian yang menjadi trending topik.

Awalnya saya ragu mau nulis tentang Tilik dengan Bu Tejo-nya ini. Sudah banyak yang nulis dari berbagai sisi. Lagi-lagi Bu Tejo yang jadi sorotan. Kasian ya! Ha ha ha. Mbak Ozie sang pemeran benar-benar total dan wasis mencas mencos hingga katanya dia jijik sendiri ngeliatnya.

Okey, kita abaikan Bu Tejo dengan seabrek intrik ghibah-nya. Takutnya kita malah ikut-ikutan ghibah nih. Bahkan lebih seru dari Bu Tejo! Bukan berarti kita terus belain Yu Ning lo, yang dengan sepenuh jiwa raga mbelain Mbak Dian, saudara misanannya. Apalagi bertindak seperti Yu Sum yang kanan kiri okey, non blok! Mending jadi Bu Tri sekalian. 

Nggak tanggung-tanggung jadi kompor bledugnya Bu Tejo. Cucok banget! Kompak, sampai yang lain berpeluh-peluh nyurung truknya Gotrek yang mogok, malah melenggang cantik berdua sama Bu Tejo di belakang ibu-ibu yang mendorong truk. Ups kok ghibah lagi!!

Di balik viralnya film pendek yang disupport penuh oleh Dinas Kebudayaan DIY ini, ada beberapa pesan  yang layak dikulik. Dari adegan ke adegan, dialog ke dialog dan aneka moment yang terjadi sepanjang perjalanan. Sisi kearifan lokal begitu kental kita temukan di sana. Sisi itulah yang semestinya kita ambil hikmah bahkan jadi ajang nostalgia masa kecil yang tak terlupakan. Yuk kita kulik bareng!

Sisi kearifan lokal pertama yang saya tangkap adalah saat truk yang dikendarai Gotrek keluar dari kampung. Kutipan dialog di awal tulisan ini menggambarkan saat Yu Ning sebagai koordinator berteriak untuk konfirmasi kalau semua sudah urunan untuk tali asih saat tilik Bu Lurah di rumah sakit nanti. 

Tidak dipandang siapa yang menyumbang dan berapa rupiah yang disumbangkan. Sumbangan mereka kompak dijadikan satu yang dikepul oleh Yu Ning untuk dimasukkan dalam satu amplop. Bahkan Yu Ning-pun memastikan kalau semua jadi saksi saat dia memasukkan ke dalam amplop. Kompak, egaliter dan transparan. Keren kaaan?

Kita juga bisa menangkap kearifan lokal dari sisi kedua, yakni  ketika para emak beramai-ramai naik truk dengan aplikasi Gotrek. Kalau gojek untuk dua orang, go car  untuk empat orang, nah kalau gotrek muat satu kampung! Terkesan udik tapi asyik. Tanpa memandang kasta, semua sama. 

Keroyokan ramai-ramai naik bak truk. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Sensasi yang luuuuar biasa. Ada juga kode khusus dari Gotrek kapan aman untuk berdiri menikmati semilir angina dengan berpegangan pada tali yang melintang di tengah, bisa juga nyandar atau berpegangan pada bak truk. Kode yang sama ala 'om tholelot om" yang sempat viral juga dibunyikan Gotrek saat semua harus jongkok supaya tidak terlihat saat melewati "tangsi" alias instansi kepolisian yang dikhawatirkan akan menilang mereka.

Dan benar saja saat Bu Bejo dan Yu Ning tidak nggagas kode itu karena terlibat perdebatan seru terkait Dian. Harusnya mereka jongkok! Tetooot apa yang terjadi? 

Gotrek kena tilang polisi akibat melanggar PP Nomor 55 Tahun 2012 Pasal 5 Ayat 4 karena mengangkut rombongan. Namun 'The Power of Emak-Emak' berhasil membuat Pak Polisi angkat tangan diiringi alunan kekompakan para emak untuk say goodbye, "Dadaaaa Pak Polisi....!". Rupanya Pak Polisi keder juga kalau mau dicokot Bu Tejo cs. Just want to say,"Sakke ya....!". Hemmm emak-emak dilawan!

Budaya tilik atau menjenguk itu sendiri merupakan kearifan lokal masyarakat Jawa yang begitu kental. Tanpa mengurangi apresiasi saya terhadap seberapa besar sumbangan yang mereka berikan, namun rasa empati yang ditunjukkan dengan ngaruhke untuk melihat kondisi yang sedang sakit layak diacungi jempol. Meskipun kecelik karena ternyata tidak bisa ditengok, kalaupun boleh tidak bisa berlama-lama, namun ada kepuasan tersendiri saat sudah bisa ikut.

Budaya tilik inilah yang seharusnya kita warisi. Entak itu tilik orang sakit, tilik bayi atau takziyah sekalipun. Janjian, rombongan, ada koordinator dan tidak ketinggalan ada yang dinobatkan sebagai pemimpin doa. Mau naik apa terserah, yang penting sampai lokasi, meski hanya sak nyuk. Tidak berlama-lama seperti kondangan. Penting juga ada upaya-upaya solutif yang ditawarkan saat ada kekecewaan atau mungkin masih banyak waktu. Dijamin mereka setuju, apalagi kalau diajak belanja. Pasti deh, ayo aja! Emak-emaaak!

O ya, ada yang masih ingat apa yang dilakukan saat kita kebelet pipis? Ternyata Yu Ning mengingatkan masa kecil kita. Dalam dialog yang saya cuplik di atas kearifan lokal yang terus membudaya masih kental di situ. Bagaimana saat Bu Tejo yang heboh itu tiba-tiba makcep. Ternyata dia menahan pipis. 

Sementara perjalanan masih jauh. Nah, Yu Ning berinisiatif memberi karet gelang untuk diikatkan pada jempol kaki Bu Tejo. Konon itu bisa menahan hasrat untuk buang air kecil. Ternyata itu juga madzhab yang saya anut waktu saya kecil. Pulang sekolah, jalan kaki di bulak yang jauh dari perkampungan, kebelet pipis. Nah, ajian mengikat jempol kaki dengan karet inilah yang dimainkan. Begitu juga kalau kebelet ee' alias buang air besar. Jurus menggenggam kerikilpun turut dimainkan. Nggak tau apa filosofinya, manut-manut saja. Hahaha!!

Mari belajar untuk melihat sisi positif dari film yang diproduksi Ravacana Film ini. Tidak terjebak pada kegemesan pada ulah para emak yang demen ngegosip. Apalagi dikaitkan dengan agama yang akhirnya malah berkomentar nyinyir "Berjilbab kok ghibah". Ini bukan tentang jilbabnya, tapi sejatinya ini skakmat buat kita bahwa ghibah itu begitu menjijikkan. Makanya Allah sudah wanti-wanti dalam ayat 12 Surat Al hujurat,

" Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang".

Terimakasih Mas Bagus Sumarsono yang telah menulis naskah film ini. Suguhan yang begitu apik. Tak perlu berlama-lama untuk belajar. Belajar tentang kebersamaan, kekompakan, kepedulian, nguri-uri kabudayan dan tentu saja belajar untuk tidak mudah menilai seseorang hanya dari kulitnya. Don't judge by cover! Terimakasih juga Bu Tejo pesan inspiratifnya yang bikin ambyar jagad permedsosan,"Dadi wong ki sing solutif ngono lo yoo!". 

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun