Mohon tunggu...
Azismm
Azismm Mohon Tunggu... Freelancer - pelajar

Mari Berproses

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ringkih

15 Juli 2019   19:36 Diperbarui: 15 Juli 2019   19:41 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


berada di sebuah lembah kematian dan hidup
berada diantara pilihan hidup dan mati
hidup dengan sejuta persoalan
mati dengan sejuta ketakutan

aku menghadap sebuah pintu keabadian
aku melangkah menuju ruang pengadilan
meninggalkan sejuta mimpi dan angan-angan
menghapus sejuta jejak kenangan  
aku berada diujung nadir

tiiiiiiiiit..tiiiiiiit! Suara itu membuatku perlahan mulai tersadar, suara yang tidak asing bagiku. Perlahan aku membuka mata namun semuanya belum jelas. Aku dikelilingi manusia berjubah dan penutup mulut, disambut dengan hidungku yang mulai mencium bau obat-obatan. "rupanya aku masih hidup" ucapku dalam hati. Aku tidak tahu siapa yang menyelamatkanku, apakah layar kotak yang bersuara itu? Atau aku memang tidak diterima dalam dunia kematian.
"pak ridwan?" manusia itu memanggilku, aku berusaha menjawab namun aku tak bisa menggerakan seluruh tubuhku kecuali mata yang melirik dan berkedip "sus, tolong kabari keluarga kalau pak ridwan sudah sadar, hanya saja tidak bisa langsung dijenguk kecuali satu orang untuk memastikan" itu dokter rupanya, ingatanku sedikit mulai bekerja.
Seorang perempuan tua menghampiri menggunakan jubah yang sama seperti manusia yang mengerumuniku tadi. Dia mengelus rambutku, memaku dan penutup mulut yang dikenakannya mulai dibasahi air mata, "kamu menangis? Siapa kamu?" namun semua hanya bisa kuucapkan dalam hati karena aku tidak kuat berbicara, yang kurasakan adalah sakit dalam hati melihatnya,  seakan akupun merasakan apa yang ada dibenaknya. aku mengingatnya! Itu ibuku, aku menangis sebisa yang kulakukan, aku ingin memeluknya, namun semuanya malah membuat tubuhku sakit seakan dihantam martil sekujur tubuh. "sing sabar wan, sing enggal damang" itu yang ibu katakan, aku ingin sekali memberikan jawaban  tapi itu membuatku semakin sakit. Ibuku dibawa keluar oleh suster dan menjelaskan agar aku diistirahatkan terlebih dahulu. Tak menunggu lama seorang suster menusukan benda kecil tajam ke lenganku dan seketika aku tak lagi melihat dan mendengar


***


"yaasiin, walqur'anil hakim, innakala minal mursalin,..." alunan yang terdengar sayu dan menyedihkan sekaligus menakutkan membuka kembali mataku. Mengarahkanku untuk mencari sumber suara "'alasirotimmustakim,.." disana di sudut tempatku berbaring ada ibu dan ayahku melantunkan dengan sendu ayat-ayat al-qur'an seakan-akan sangat mengharapkan ayat tersebut bisa membuatku bangun dan kembali berlari. Namun apa daya yang bisa kulakukan hanya berkedip meneteskan airmata. Sakit yang menghujam hati  lebih dari penyakit yang kuderita. Aku mengidap kanker otak kurang lebih 3 tahun lamanya.  Dan saat ini sudah pada stadium akhir tapi kurasa kematianku sudah datang setahun yang lalu sejak aku hanya bisa berbaring dan mengedip dan mendengar serta melihat kedua orang tuaku tak hentinya menangis dan berdo'a.


Rasanya, aku menyesal telah menyepakati perjanjianku dengan tuhan tentang alur hidupku jika kuingat bahwa setiap manusia sudah memiliki dan menyepakati perjanjian kehidupan.


"sodakallahuladzim.. pak, ridwan bangun" seketika beliau menghampiriku mengusap kepalaku dan lagi-lagi meneteskan airmata. Ah, lagi-lagi lebih dari seribu anak panah mengunuskan diri kedalam ulu hati. "sudah bu, jangan nangis terus kasihan ridwan, kasihan ibu juga lebih baik ibu makan dulu yu, wan sabar kasep do'akeun ibu sama ayah supaya sehat terus ngerawat ridwan biar cepet sembuh, kita makan dulu ya sebentar ridwan tunggu ya kasep" sambil mencium keningku seketika ayah merangkul ibu dan segera pergi menuju pintu. lebih baik aku memilih benar-benar mati daripada mati dalam keadaan hidup, pikiran yang semakin  menusukku malah membuat ngantuk kembali menyerang.


Ternyata aku tidak bisa tidur, aku hanya berlari memikirkan nasibku dan entah ada sebuah kekuatan yang membuat nekat untuk kembali membuka kembali mata dan mencoba menggerakan semua tubuhku. Ternyata bisa! Aku mengepalkan tangan dan mengangkatnya, rasa sakitku hilang. Sembuh! Aku berusaha melawan sebisaku. Aku duduk dan mencopot semua selang yang menancap dibeberapa tubuhku. "yes akhirnya sembuh, pokonya aku harus kasih kejutan buat ibu, ayah. tapi aku laper apa aku samperin aja ibu biar mereka kaget haha..." tak berfikir panjang karena kesenangan, aku berjalan dengan biasa dan hilang semua rasa sakit itu. Seperti pemuda kalem, aku berjalan melewati lorong sambil mencari petunjuk menuju arah kantin.


Semua orang yang melihat dan melewat didepanku biasa saja seolah-olah aku memang bukan orang yang sakit. Aku berjalan dengan perasaan tegang akan seperti apa mereka melihatku berjalan seperti orang sehat dan mengetahui bahwa anaknya sudah sembuh. Aku mulai memikirkan hal-hal yang akan kulakukan setelah keluar dari rumah sakit ini. Aku akan pergi mencari perempuan, nongkrong seperti pemuda-pemuda pada umumnya dan semua hal yang kulewatkan semenjak aku terbaring di Kasur dan obat-obatan.


kulihat sebuah papan "kantin". Semakin menegangkan dan senang rasanya. Aku kembali menebak reaksi seperti apa yang keluar dari orang tuaku. Sampai aku mendekat disebuah pintu masuk. Sejenak berhenti dan mencoba mencari dimana orangtuaku duduk. Ternyata tak ada, "mungkin mereka makan diluar, aku nunggu aja dikamar dan pura-pura tidur dan kemudian aku bangun dan duduk  hahaha" aku semakin senang tak sabar. Aku kembali menuju ruang tidurku.
Kurang lebih melewati empat ruang lagi aku akan sampai menuju ruang tidurku. Terdengar suara rame dalam ruangan yang kutahu itu ruanganku. Semakin kudekati. Benar saja itu suara ibu. Aku sedikit berlari dan semakin tidak sabar buru-buru saja aku membuka pintu. krek! Pintu kubuka "assalamualai.." "sabar bu da kumaha deui atuh ikhlaskeun semoga allah menempatkan ridwan disurganya Allah" disambut isak tangis yang semakin mengeras. Aku melihat diriku terbaring diatas Kasur dan beberapa dokter dan suster mencabuti selang-selang ditubuhku dan menutup tubuhku dengan kain.


Sebuah jawaban yang tak sempat ditanyakan
Sebuah bahagia yang tak sempat kubagikan
Kebahagian tetaplah fana
Aku terbang mengenang suka Menyimpan duka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun