Mohon tunggu...
Gaya Hidup Pilihan

Tato, Idola, Remaja

17 Mei 2016   19:24 Diperbarui: 17 Mei 2016   19:31 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjavZGkjuHMAhUIVZQKHaosB98QjRwIBw&url=http%3A%2F%2Fwww.ranker.com%2Flist%2Fjared-leto-tattoos%2Ftat-fancy&bvm=bv.122129774,d.dGo&psig=AFQjCNGGpUSEhaB6pL_ofooNmsnpu22hLA&ust=1463574558720403

Tato, dalam Ensiklopedia Americana dijelaskan bahwa 

Tattoing is the production of pattern on the face and body by serting dye under the skin some anthropologist think the practice developed for the painting indication of status, or as mean of obtaining magical protection.

Pada awal mulanya tato merupakan praktik penandaan identitas kolektif, semangat perlawanan, atau spiritualitas masyarakat etnik. Layaknya kebutuhan sandang, pangan, dan papan, identitas merupakan bagian dari kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Tato menjadi suatu wahana identitas, yang dibutuhkan sebagai eksistensi oleh setiap manusia di berbagai belahan bumi. 

Seperti pada masyarakat Polynesia yang mengembangkan tato untuk menandakan komunitas tribal, keluarga, dan status masyarakatnya. Selain sebagai penanda identitas, tato menjadi jimat semangat perlawanan dapat ditemui pada masyarakat minoritas Karens yang berjuang melawan penindasan rezim militer Burma. Setelah merajah bagian tubuh tertentu, masyarakat Karens seolah menjadi tak terkalahkan dan tidak takut menghadapi kematian.

Christopher Scott pada buku Skin Deep, Art, Sex and Symbol, membagi motivasi dan stimulus tato tradisional ke dalam empat tema besar yang dijabarkan oleh Hatib Abdul Kadir Olong dalam buku Tato;

Pertama, tato bertujuan sebagai fungsi kamuflase selama masa perburuan. Dalam perkembangannya, tato digambarkan sebagai prestasi dari hasil berburu binatang, yang kemudian berlanjut kepada manusia sebagai objek perburuan. Seperti pada tato masyarakat Mentawai, garis-garis pada dada dan punggung laki-laki tertentu, menunjukkan bahwa ia pernah melakukan pembunuhan terhadap musuh.

Kedua, tato merupakan perintah religius masyarakat yang diyakini dengan iming-iming surga, atau dikatakan sebagai perintah Dewa/Tuhan. Contohnya pada masyarakat Hawai yang bertato di mana mereka akan menghadapi kematian dengan rasa senang hati.

Ketiga, tato sebagai inisiasi dalam masa-masa krisis dan fase kehidupan dari anak-anak ke remaja, dari gadis ke perempuan dewasa, perempuan dewasa ke ibu. Contohnya pada masyarakat Tibet dan India, di mana tato digunakan sebagai bukti ketabahan mereka dalam menghadapi berbagai masa krisis pubertas dan kehamilan. 

Keempat, tato sebagai jimat mujarab, simbol kesuburan dan kekuatan dalam melawan berbagai penyakit, kecelakaan, bencana alam, dan gangguan setan. Contohnya pada masyarakat Gipsy yang mempercayai tato dapat memberi perlindungan dari gangguan setan dan perempuan penyihir berlakuan jahat.

Di eraposmodernisme ini, tato mengalami pergeseran dan memasuki nilai antroposentris.Dari budaya tinggi ke budaya massa. Pergeseran inilah yang kemudian menjadikantato sebagai wilayah yang diperebutkan antara moralitas tubuh, estetika tubuh, identitas tubuh, hingga solidaritas tubuh. Cara berpakaian, cara berbahasa,pilihan musik, idola-idola, sampai pada macam aksesoris pada tubuh. Tato menjadisalah satu pilihan kegiatan yang popular di kalangan remaja. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri.

Masa remaja, merupakan masa dengan ciri khas yang membedakan dengan fase lain dalam kehidupan manusia. Selain terjadinya perubahan fisik, kaum muda juga mulai berusaha untuk mengembangkan dan menyempurnakan pribadi dalam rangka menunjukkan identitas. Di dalam lingkungan masyarakat, kaum muda akan membentuk citra diri yang merupakan bagian dari tuntutan terhadap identitas yang diinginkan. 

Citra diri mempunyai makna self concept/self image, merupakan gabungan dari keseluruhan pandangan dan perasaan yang membentuk kesadaran seseorang tentang eksistensinya. Pada saat inilah biasanya remaja mengalami masa-masa krisis dalam proses pembentukan kepribadian dan jati diri. Jati diri ini dapat dicari dari nilai ideal yang diharapkan, salah satunya adalah idola. Idola dalam hal ini adalah seseorang yang menjadi sumber inspirasi untuk menunjukkan jati diri. Terkadang seseorang rela menderita sakit demi menyerupai penampilan idolanya, dalam hal ini adalah tato.

“… satu-satunya bentuk kebudayaan yang masih dipedulikan oleh kaum muda … yang mau menerima ide-ide radikal, yang banyak berperan pentingdalam berperilaku sosial … Untuk generasi muda, segalanya mengalir lewat music punk dan rock and roll seperti fesyen, bahasa gaul, perilaku seksual, mabuk, dan gaya.” (Chamberlain, 1995:1 via Hatib Abdul Kadir Olong 2006)

Proses tahapan pengaruh idola terhadap pengikut atau pengadopsi tentunya akan melewati berbagai tahapan, yakni ; interest stage (terpesona / tertarik model penampilan seseorang), kemudian evaluation stage (mengevaluasi perlu / tidaknya melakukan peniruan), trial stage (mencoba menirukan bagian yang menarik hatinya), dan yang terakhir adalah adoption stage (mengambil keputusan, menirun sang idola) (Olong, 2006:47). Biasanya, pada tahap evaluation atau trial stage, individu akan mengalami ambiguitas atau memasuki tahap liminalitas.

Tindakan meniru sang idola bisa muncul dari keinginan yang berbeda, seorang individu bisa meniru tindakan tertentu yang pernah dilihatnya dengan tujuan untuk memuaskankebutuhan jasmaninya seperti makan dan minum. Tetapi seperti pada tahap liminalitas pada remaja, tindakan peniruan terjadi untuk kebutuhan emosi, misalnya harga diri, citra diri, pemuasan psikis. Dalam hal ini, tato menjadi sebuah objek peniruan yang dilakukan olehkaum remaja, yang bertindak sebagai subjek pencuri gaya, di mana mereka kembali mentransformasikan gaya tato yang disesuaikan dengan kondisi setempat dan berusaha melakukan inovasi.

Daftar Pustaka

Hatib Abdul Kadir Olong. 2006. Tato. Yogyakarta : LkiS

Male Emporium Magazine. 2006. Eksibisionis

Srinati, Dominic. 2003. Populer Culture, Pengantar menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta : Bentang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun