Indonesia saat ini  menjadi negara tidak sehat, akibat tingginya angka penderita obesitas, diabetes dan gagal ginjal terutama pada anak-anak. Posisi Indonesia menempati  peringkat kelima  dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia, berdasarkan data dari International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2021. Pada tahun 2021 tersebut, Indonesia memiliki sekitar 19,47 juta penderita diabetes. Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Januari 2023, angka kejadian diabetes pada anak usia 0---18 tahun meningkat 70 kali lipat atau sebesar 7000% selama jangka waktu 10 tahun.
Penyakit Diabetes ini berpotensi  dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, obesitas, stroke dan gagal ginjal.  Menurut hasil riset Kesehatan Dasar disebutkan bahwa 1 dari 3 masyarakat di Indonesia mengalami obesitas. Selain itu, 1 dari 5 anak-anak di Indonesia mengalami kelebihan berat badan. Tingginya peningkatan kasus obesitas dan  diabetes di Indonesia menjadi perhatian serius karena beban penyakit ini semakin meningkat, terutama dalam hal pencegahan dan penanganan komplikasinya.  Secara khusus komplikasi terberat penderita obesitas lalu menderita  diabetes. Selanjutnya setelah menderita diabetes sangat mungkin kemudian menderita gagal ginjal dan harus lakukan cuci darah atau Hemodialisis.
Gagal Ginjal Mengancam Hidup Anak Indonesia.
Jika seseorang  sudah menjadi penderita gagal ginjal, harus Hemodialisis berarti harus dilakukan seumur hidupnya. Setelah menjadi penderita gagal ginjal atau harus hemodialisis makaÂ
Yayasan Ginjal Anak Indonesia mengungkapkan bahwa mereka saat ini sedang membantu merawat 75 orang pasien  yang harus cuci darah rutin akibat menderita gagal ginjal.  Pasien penderita itu dengan usia di bawah 18 tahun berjumlah 60 orang. Yayasan Ginjal Anak Indonesia juga mengungkapkan bahwa setiap bulan selalu ada anak gagal ginjal yang meninggal dunia.  Total anak penderita  gagal ginjal korban MBDK yang meninggal dunia tahun 2025 sampai bulan Juli 2025 sudah ada 18 anak. Menyedihkannya, anak-anak gagal ginjal yang menjadi  korban  berasal dari para pasien anak keluarga miskin. Beban pembiayaan BPJS Kesehatan untuk penyakit ginjal kronis yang membutuhkan hemodialisis (cuci darah) mencapai Rp2,4 triliun pada tahun 2023, menempatkannya sebagai salah satu beban pembiayaan terbesar dalam sistem jaminan kesehatan nasional.
Cukai MBDK Untuk Melindungi Hak Hidup Anak.
Melihat beban kerugian uang rakyat serta  bahaya mematikan bagi anak-anak Indonesia akibat mengkonsumsi secara berlebih produk, sudah seharusnya pemerintah memiliki kebijakan pengendalian konsumsi MBDK. Kebijakan yang sudah dibuat rencananya oleh pemerintah adalah membuat Peraturan Pemerintah atau PPÂ
Mundurnya terus PP  pemberlakuan Cukai MBDK memang strategi industri untuk melindungi bisnis mereka. Industri MBDK tidak peduli produknya bisa membunuh hidup anak-anak Indonesia jika tidak dikendalikan konsumsi. Bagi industri MBDK adalah kebebasan menjual dan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tidak kompaknya pemerintah itu adalah bagian rencana industri MBDK agar pemerintah menunda terus dulu pemberlakuan PP Cukai MBDK. Jelas dengan mundurnya pemberlakuan Cukai MBDK adalah industri MBDK. Bangsa Indonesia sangat dirugikan dengan mundurnya atau bahkan batalnya pemberlakuan Cukai MBDK. Produk dan penjualan MBDK menyasar dan dapat membunuh hidup anak Indonesia. Akibatnya bonus demografi Indonesia dan Indonesia Emas  pada tahun 2025 tidak akan terwujud. Bisa jadi yang terwujud adalah Indonesia lemas karena rakyatnya lemas-lemas akibat sakit gagal ginjal dan harus rutin cuci darah. Pemerintah harus kompak dan segera memberlakukan Cukai MBDK dengan menetapkan PP Cukai MBDK. Mari Dukung Cukai MBDK Untuk Melindungi Hak Hidup Anak Indonesia.
Jakarta, 8 Agustus 2025.
Dr. Azas Tigor Nainggolan, SH, MSi, MH.
Wakil Ketua FAKTA Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI