"Seseorang yang beraktivitas di ruang digital dengan pengaruh besar namun tidak menjaga pagar batin atau tidak memiliki grounding spiritual yang kuat, sangat rentan dimanipulasi oleh pihak lain," kata MS Alfa.
Ia tidak serta merta menyimpulkan Lisa bersalah atau menjadi korban, namun menekankan bahwa lintrik menunjukkan posisi yang tidak netral: "Ada karma yang bergerak. Apakah itu karma lama atau hasil dari keputusan-keputusan hari ini, hanya waktu yang akan mengungkap."
MS Alfa juga mengingatkan bahwa dalam banyak kasus eksploitasi digital, publik terlalu cepat menilai hanya dari apa yang terlihat. Padahal dalam lintrik, banyak hal yang tersembunyi di balik layar yang memengaruhi kenyataan.
"Kita terbiasa menghakimi berdasarkan tampilan. Tapi lintrik mengajarkan bahwa apa yang kasat mata belum tentu menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi," tuturnya.
Ia pun menyoroti kemungkinan bahwa Lisa Mariana menjadi korban pihak ketiga yang memanfaatkan celah digital untuk menyebarkan dan menjual konten tanpa izin.
"Jika memang benar ada penyalahgunaan oleh pihak luar, maka penyidikan harus mampu menembus lapisan digital yang rumit itu. Bukan hanya menyasar tokoh di depan layar," katanya.
Seruan untuk Masyarakat Digital
Menurut MS Alfa, kasus ini harus dijadikan cermin bagi masyarakat digital, bahwa popularitas di dunia maya datang dengan risiko spiritual dan sosial. Ia menyerukan pentingnya penguatan nilai, refleksi batin, dan perlindungan terhadap energi diri.
"Banyak yang mengejar sorotan tanpa sadar bahwa mereka membuka celah bagi energi negatif untuk masuk. Lintrik menekankan keseimbangan antara pencapaian lahir dan kekuatan batin," pungkasnya.
Sebagai penutup, MS Alfa mengajak masyarakat untuk tidak ikut-ikutan menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya dan tidak menjadikan kasus ini sebagai bahan penghakiman publik.
"Biarkan hukum bekerja, dan semoga kebenaran yang sejati muncul. Yang terpenting, mari jaga energi kolektif kita tetap bersih," tutupnya.***(YN)Â