Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pemburaman di Televisi: Kearifan Lokal Kita

10 Maret 2016   20:45 Diperbarui: 10 Maret 2016   20:51 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Jika kita belajar sejarah penyiaran, mulai dari pertama kali Samuel Morse mengirimkan telegrafi pertamanya di tahun 1844 hingga era televisi digital saat ini, kita akan melihat sebuah benang merah mengenai apa yang diperjuangkan oleh para teknisi: kualitas suara dan gambar yang semakin jernih dan mendekati suara dan gambar aslinya.

Tetapi, itu di luar sana.

Di Indonesia, yang terjadi cukup berbeda. Pemirsa televisi di negeri yang santun ini memang telah memasuki era televisi digital, yang menghasilkan gambar dan suara yang jernih. Akan tetapi, kualitas unit televisi terasa berbanding terbalik dengan acara-acara yang ditayangkan. Di sini, tidak ada hari tanpa tayangan (di)buram(kan).

Televisi Indonesia tampak senang sekali memanfaatkan fitur pemburaman dalam hampir tiap tayangan. Pada mulanya, pemburaman hanya berlaku untuk adegan orang berciuman. Lalu, seiring dengan berkembangnya kearifan bangsa kita, sasaran pemburaman meluas dari film romantis, film laga, hingga film kartun. Bahkan tokoh kartun di film Doraemon, Shizuka, pun tak lepas dari pemburaman, yakni ketika ia digambarkan memakai baju renang. Lebih mencengangkan lagi, bahkan kartun yang tak berbentuk manusia seperti Cindy Si Tupai dalam film kartun Spongebob juga diburamkan ketika memakai bikini!

Pemburaman barangkali sudah menjadi kearifan lokal kita. Tak hanya di televisi, di ranah hukum pun banyak terjadi pemburaman. Tak sedikit kasus yang sudah gamblang pelaku maupun perkaranya yang hilang tak bersisa. Buram. Masalah darurat narkoba, misalnya. Dalam berbagai pemberitaan, yang selalu diulang-ulang adalah betapa pentingnya eksekusi terhadap terpidana hukuman mati kasus narkoba sebagai efek jera. Alasannya, mereka masih bisa mengkoordinir peredaran narkoba dari dalam penjara. Sayangnya, soal sistem pengamanan Lapas dan perilaku para sipir yang kerap kedapatan menjadi kepanjangan tangan para terpidana mati itu, sama sekali luput dari pemberitaan. Buram.

Di tempat lain yang konon paling terhormat karena diisi oleh para anggota dewan yang dipilih langsung oleh rakyat, kita pasti ingat betul, bagaimana para hakim Mahkamah Kehormatan Dewan melecehkan kehormatan dan kewarasan orang-orang yang mereka wakili dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak jelas. Dan, kita tahu bahwa masih ada satu orang lagi yang tak pernah datang memenuhi panggilan MKD namun tak juga dicari, apalagi dihadirkan. Sungguh buram.

Dalam banyak bidang kehidupan, agaknya kita memang menyukai perkara-perkara yang buram. Meskipun sudah memasuki era informasi, tak sedikit masyarakat kita yang percaya begitu saja dengan kabar-kabar bohong, alias hoax. Tak hanya mereka yang berpendidikan rendah, orang-orang yang telah mengecap bangku universitas hingga yang bergelar ganda pun rentan menjadi korban dari kabar-kabar burung yang kebenarannya tak dapat dipertanggungjawabkan.

Maka, kita tak perlu terkejut apabila suatu hari kelak kita menyalakan televisi berkualitas High Definition kita, dan seluruh area layar diburamkan. Karena, bukankah pemburaman itu adalah kearifan lokal kita?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun