Praperadilan hadir sebagai mekanisme penting untuk memastikan setiap tindakan aparat penegak hukum penangkapan, penahanan, maupun penghentian penyidikan dilaksanakan sesuai hukum. Salah satu aspek krusial dalam praperadilan adalah alat bukti, karena proses ini tidak hanya menilai sah atau tidaknya tindakan aparat, tetapi juga sejauh mana bukti yang dikumpulkan memenuhi standar hukum.
Sayangnya, Praktik praperadilan di Indonesia sering menunjukkan fenomena yang mengkhawatirkan: fokus pada kuantitas bukti, sementara kualitasnya kurang diperhatikan. Aparat penyidik terkadang mengajukan banyak dokumen, keterangan saksi, atau barang bukti untuk memenuhi "angka" persyaratan formal, tanpa memastikan bahwa setiap bukti memiliki kekuatan hukum, relevansi, dan keabsahan yang memadai. Akibatnya, Praperadilan terkadang menjadi arena di mana proses administratif lebih dominan daripada analisis substantif terhadap bukti.
Hal ini berimplikasi langsung pada kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Seorang tersangka bisa saja ditahan atau disidik hanya karena aparat "memenuhi kuota" bukti, padahal kualitas bukti tersebut diragukan atau tidak cukup mendukung dugaan pidana. Hak warga negara untuk mendapatkan proses hukum yang adil pun menjadi tergerus, karena mekanisme kontrol yang seharusnya memverifikasi kekuatan bukti menjadi sekadar formalitas.
Hakim praperadilan seharusnya memeriksa bukan hanya ada-tidaknya bukti, tetapi nilai pembuktian setiap alat bukti: apakah saksi benar-benar melihat kejadian, apakah dokumen sah dan tidak dimanipulasi, serta apakah barang bukti terkait langsung dengan perkara. Pendekatan ini menuntut hakim untuk lebih kritis dan tidak sekadar menerima "tumpukan bukti" sebagai dasar sahnya tindakan penyidik.
Penting dicatat bahwa kuantitas bukti memang relevan untuk mendukung dakwaan atau penahanan tetapi tanpa kualitas, bukti menjadi formalitas kosong. Dalam jangka panjang, praktik ini bisa melemahkan kredibilitas lembaga penegak hukum dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Praperadilan, dalam konteks ini, harus menjadi wahana yang menegaskan prinsip bahwa setiap bukti harus diuji, bukan sekadar dihitung.
Dengan memperkuat analisis kualitas bukti, praperadilan tidak hanya menjadi mekanisme formalitas hukum, tetapi juga instrumen nyata perlindungan hak asasi manusia. Ia memastikan bahwa setiap tindakan penegakan hukum dilakukan berdasarkan bukti yang sah, relevan, dan cukup, sehingga keadilan dan kepastian hukum dapat berjalan seiring.
Di tengah dinamika penegakan hukum di Indonesia, penguatan kapasitas hakim praperadilan, peningkatan integritas aparat, serta pemahaman mendalam tentang alat bukti menjadi kunci agar praperadilan benar-benar berfungsi sebagai benteng hukum yang adil dan bermartabat.
Praperadilan bukan sekadar catatan prosedur atau tumpukan dokumen. Ia adalah pengujian nyata atas keadilan itu sendiri. Ketika kualitas bukti diabaikan demi kuantitas, hak asasi warga negara dipertaruhkan. Hanya dengan menegakkan standar bukti yang sahih, relevan, dan bermakna, Praperadilan akan kembali menjadi benteng yang sesungguhnya bukan sekadar formalitas---tempat hukum berdiri untuk melindungi, bukan menindas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI